_____________________________________________________________________________________________
§ ERA KEEMASAN RADIO KEMBALI LAGI
Masih kuat dalam ingatan
masyarakat Indonesia, radio tiba-tiba berperan kembali menyiarkan berbagai
peristiwa yang terkait dengan kerusuhan “Mei 1998”, termasuk hiruk pikuk demonstrasi
mahasiswa dan rakyat Indonesia yang meruntuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto
bersama-sama rezim Orde Baru nya. Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai radio
pemerintah dan Radio Swasta sebagai radio komersial, saat itu seperti mendapat
peluang untuk lepas dari kontrol dan sensor pemerintah, dengan menyiarkan
peristiwa perlawanan masyarakat dan mahasiswa secara detil dan bebas.
Kesempatan ini tidak pernah dialami media massa
Indonesia
selama kurang lebih 30 tahun.
Melalui kontrol Departemen Penerangan,
pemerintah mempunyai rambu yang sangat ketat terhadap isi media massa agar tidak
memberitakan sesuatu yang dianggap pemerintah berlawanan dengan kebijakan dan
kemauan mereka. Media massa
selama itu selalu khawatir terhadap kemungkinan dibreidel sewaktu-waktu apabila
pemerintah tidak suka dengan pemberitaan yang dianggap mengganggu kredibilitas
mereka.
Hal ini juga terjadi dengan
radio yang sampai dengan tahun 2002 tidak mempunyai Undang Undang Penyiaran
sama sekali. Radio hanya diatur dan dikendalikan dengan Peraturan Pemerintah
No. 55 Tahun 1970, yang mengatur tentang tata cara penyelenggaraan radio serta
tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya. Kekangan ini dilengkapi dengan Surat
Keputusan Menteri Penerangan No. 226 Tahun 1984, yang intinya melarang radio
non-RRI memproduksi dan menyiarkan acara Warta Berita. Untuk itu radio-radio
non-RRI diwajibkan me-relay Warta Berita dari RRI sebanyak 14 kali dalam
sehari, dengan durasi setiap Warta Berita tidak dapat diprediksi. Semuanya
tergantung dari keinginan RRI termasuk instruksi Departemen Penerangan. Sangat
umum, apabila presiden meresmikan sebuah proyek, radio non-RRI wajib merelai
acara tersebut selama satu hingga dua jam. Bahkan ketika Rapat Kabinet selesai,
sudah dapat dipastikan Menteri Penerangan akan berbicara kepada media-massa
dalam acara “press conference” dengan durasi minimal satu jam.
Dapat dibayangkan, radio
sangat sulit mengembangkan programnya sendiri, karena berkali-kali harus
mengubah programnya akibat Warta Berita yang tidak pasti durasinya, termasuk
kewajiban-kewajiban merelay acara dan pidato presiden atau wakil presiden.
Jangankan mengembangkan
program beritanya, untuk memastikan
durasi acara hiburan dan musik di radio sendiri saja menjadi sangat sulit.
Radio non-RRI nyaris tidak mampu mengembangkan fungsinya sebagai media
informasi, kecuali hanya populer sebagai media hiburan yang hanya memutar
lagu-lagu. Meskipun demikian, di masa sulit itu ada beberapa radio yang berani
menyiarkan berita meski harus dikamuflase dengan istilah “informasi”. Bahkan
beberapa radio menyiasati program pemberitaan mereka dengan apa yang
diistilahkan sebagai “jurnalisme alternatif”. Seperti Talkshow, Reportase,
Insert, Features dan informasi yang disajikan secara “adlib”.
Sampai kemudian gerakan dan
peristiwa politik bergejolak di tahun 1998 menggugah radio kembali menyiarkan
banyak hal secara sangat terbuka, bahkan termasuk isyu yang selama itu dilarang
pemerintah. Seperti menyiarkan gerakan demonstrasi, pendapat-pendapat tokoh
oposisi pemerintah, termasuk suara masyarakat yang selama ini terpendam. Memang tidak semua radio di Indonesia siap
mengantisipasi perubahan dan peluang kebebasan informasi ini. Hanya radio-radio
yang selama ini “mencuri-curi” kesempatan berjurnalisme dengan berbagai kamuflasenya
sajalah yang langsung memanfaatkan peluang bagus ini, seperti peliputan
"Kerusuhan Mei 1998” dan “Tragedi Trisakti”. Mereka siap berjurnalisme karena lebih
berpengalaman dan pola organisasi pemberitaannya sudah terbentuk secara
sembunyi-sembunyi.
Sejak tahun 1998 radio siaran
non-RRI, -khususnya radio komersial-, segera mengubah strategi dengan
memproduksi sebanyak banyaknya program pemberitaan. Masyarakatpun memanfaatkan
peluang ini dengan ikut mengembangkan konsep “jurnalisme interaktif”, yang memberi
kesempatan masyarakat bukan sekedar sebagai penikmat informasi, tetapi juga
sebagai sumber informasi dan perantara informasi. Situasi ini memberi peluang
besar aktivitas “local journalism”. Kecenderungan masyarakat memanfaatkan radio
sebagai sumber informasi tercepat semakin besar. Bahkan kegandrungan masyarakat
beradio mendorong kelahiran radio-radio baru. Semangat beradio yang besar ini
ternyata tidak diikuti dengan perubahan-perubahan regulasi penyiaran.
Akibatnya, terjadi banyak kejadian yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran.
Misalnya radio yang
berkategori “radio gelap”, karena bersiaran tanpa mendapatkan ijin menggunakan
gelombang frekuensi. Menghadapi
pertumbuhan radio gelap yang makin marak, pemerintah ternyata tidak melakukan
apapun sampai saat ini, meski Undang Undang Penyiaran sudah diberlakukan tahun
2002. Pemerintah saat ini dihadapkan pada kerumitan menghadapi sekitar 2000
radio yang dikategorikan “radio gelap” di seluruh Indonesia. 1) Padahal
jumlah radio siaran yang resmi (mendapat ijin penggunaan frekuensi) menurut
data tahun 2002 mencapai 1209 stasiun. Jumlah ini belum termasuk 200 radio
siaran yang masih dalam proses perizinan, menurut Departemen Penelitian dan
Pengembangan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia-PRSSNI.
Kegandrungan inilah yang
selanjutnya memberi inspirasi banyak pihak, seperti Lembaga Sosial Masyarakat
(LSM), perguruan tinggi, kalangan praktisi penyiaran maupun asosiasi penyiaran,
mengusulkan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera menyusun
Undang Undang Penyiaran. Karena dunia penyiaran di Indonesia yang diyakini potensial
menjadi instrumen proses demokratisasi masyarakat, memerlukan
kepastian-kepastian dan jaminan hukum yang jelas. Agar fungsi dan peran radio
membangun eksistensinya sebagai lembaga informasi dan komunikasi masyarakat
secara terbuka, tidak mudah diombang-ambingkan kekuasaan pemerintah dan terus
menerus mengalami interfensi berbagai pihak atas nama kepentingan kekuasaan.
Undang Undang Penyiaran juga diperlukan untuk mengatasi ketidak terakomodasinya
hak-hak publik memanfaatkan radio sebagai alat komunikasi dan ekspresi
kebebasan berpendapat.
§ TARIK ULUR UNDANG UNDANG PENYIARAN
Gejolak dan keresahan masa
depan dunia penyiaran radio dan TV di Indonesia akhirnya mereda ketika
Undang Undang Penyiaran disahkan Dewan Perwakilan Rakyat 28 November 2002, yang
kemudian menjadi UU NO. 32 Tentang Penyiaran. Keputusan ini bukan berarti
Undang Undang Penyiaran dianggap telah berkualitas. Banyak pasal yang dianggap bertentangan dengan
semangat atas hak-hak masyarakat berinformasi dan berpendapat dengan bebas.
Meski dianggap banyak kelemahan, fakta obyektif
menunjukkan bahwa salah satu keputusan Undang Undang Penyiaran yang
menggambarkan proses demokratisasi masyarakat, adalah keragaman media penyiaran
radio yang dimungkinkan dilaksanakan di
Indonesia. Pasal 13 ayat (2) menyatakan: jasa penyiaran radio dan televisi
diselenggarakan oleh:
a)
Lembaga Penyiaran Publik,
b)
Lembaga Penyiaran Swasta (Komersial),
c)
Lembaga Penyiaran Komunitas, dan
d)
Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Perbedaan mencolok antara
Undang Undang Penyiaran dengan peraturan sebelumnya, bahwa Radio Pemerintah
tidak diakomodasikan lagi di Undang Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002. Juga
untuk pertama kali Radio Publik, Radio Komunitas dan Radio Berlangganan
dimungkinkan beroperasi di Indonesia.
Bagaimana nasib Radio Republik Indonesia sebagai Radio Pemerintah, yang di masa
Orde Baru sangat terkenal sebagai “corong kekuasaan” pemerintah ? Menurut
Menteri Komunikasi dan Informasi, Radio Republik Indonesia mendapatkan predikat baru
sebagai radio berkategori Radio Publik. Keputusan ini tentu saja baik bagi
Radio Republik Indonesia
yang sumber keuangannya selama ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Daerah. Karena dana tersebut berasal dari pajak masyarakat. Dengan
demikian tanggung jawab Radio Republik Indonesia sebagai Radio Publik
lebih masuk akal, ketimbang menggunakan dana rakyat tetapi mengutamakan
kepentingan penguasa.
Meski radio dan TV di Indonesia
sudah mempunyai acuan peraturan yang jelas, kritik terhadap Undang Undang
Penyiaran masih terus berlanjut. Protes dan ketidak puasan masih muncul dari
dari berbagai pihak, diantaranya dari enam asosiasi penyiaran yang mengajukan
“judicial review” terhadap UU 32/2002 tentang Penyiaran tersebut. Alasannya
karena Undang Undang itu mengandung banyak konflik dengan UUD 45. “Untuk itu kita akan mengajukan uji materil,”
tukas Todung Mulya Lubis selaku kuasa hukum di Hotel Crown
Plaza jalan Gatot Subroto
Jakarta Pusat, Rabu tanggal 26 Februari 2003. Turut hadir dalam acara ini 6
kepala asosiasi penyiaran. 2)
Mereka adalah Asosiasi
Televisi Siaran Indonesia (ATSI), Persatuan Sulih Suara (PSS), Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia
(PRSSNI), Komunitas Televisi (KT), dan Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (PPPI). Dijelaskan Todung Mulya Lubis, pasal-pasal dalam Undang
Undang Penyiaran mengandung sikap otoriter dan bertentangan dengan semangat
demokrasi. Banyak juga
perlakuan diskriminasi
termasuk kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi yang dihambat.
Keenam asosiasi itu selain mengajukan hak uji material, mereka juga melakukan
permohonan penundaan berlakunya Undang Undang Penyiaran sebelum permohonan judicial review diputuskan. Karena
banyak juga pasal-pasal yang diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 45
yang baru saja diamandemenkan.
Menurut
pengacara Todung Mulya Lubis Undang Undang itu masih menganut paradigma
otoriter karena masih melahirkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
mempunyai kewenangan luar biasa, seperti dulu sewaktu ada Departemen
Penerangan. Anjuran untuk melakukan “judicial review” bahkan sudah pernah
dinyatakan Roy BB Janis Ketua Fraksi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) di Dewan Perwakilan Rakyat. 3)
Yang menarik, posisi Undang
Undang Penyiaran ternyata berkembang dalam posisi yang paradoksial. Di satu sisi, ia dilahirkan sebagai bukti
perwujudan kebebasan berinformasi dan berpendapat sebagai kelanjutan Reformasi
politik di Indonesia sejak tahun 1998, ketika Presiden Suharto lengser
sekaligus Rezim Orde Baru yang tumbang. Tetapi di sisi yang lain, keberadaan
Undang Undang Penyiaran itu dianggap membelenggu semangat demokrasi. Karena
beberapa pasal dianggap membatasi kebebasan informasi dan kebebasan pers.
Pasal-pasal
dari Undang Undang Penyiaran yang dianggap bermasalah bagi radio adalah yang
menyangkut isi siaran. Seperti pasal-39
tentang siaran berbahasa asing, pasal-40
tentang relai dan siaran bersama, pasal-41
tentang monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini, dan pasal 42 tentang kepatuhan pada Kode
Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal-pasal ini
menurut Hinca IP Pandjaitan, SH, MH,
pimpinan Indonesia Media Law and Policy Centre merupakan pasal-pasal karet,
karena bersifat lentur, tidak tegas dan dapat mengundang multi persepsi.
Sebagai
contoh Pasal-40 yang terdiri dari
tiga ayat menyatakan, Ayat (1) : Lembaga
penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik lembaga
penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri. Ayat (2)
: Relai siaran yang digunakan sebagai
acara tetap, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri,
dibatasi. Ayat (3) Khusus untuk relai
siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri, durasi,
jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi. Ayat (4) Lembaga
penyiaran dapat melakukan relai siaran
lembaga penyiaran lain secara tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat
nasional, internasional, dan/atau mata acara pilihan.
Pasal-42 sebagai contoh
lainnya, tertulis: Wartawan penyiaran
dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode
Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak
dijelaskan maksud kalimat peraturan perundang-undangan yang berlaku itu
menyangkut apa saja.
Soetojo Soekomihardjo, mantan Ketua
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Pusat mengatakan,
perjuangan dunia penyiaran Indonesia
masih panjang. Bukan hanya Undang Undang Penyiaran saja yang harus dikoreksi,
tetapi yang lebih merepotkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
sangat menentukan standar dunia penyiaran di Indonesia. Komisi Penyiaran Indonesia
terdiri dari Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah yang dibentuk dalam tingkat provinsi.
Kewenangan
Komisi Penyiaran Indonesia
yang mendapat sorotan tajam adalah yang tercantum dalam Undang Undang Penyiaran
Pasal-8. Pada ayat (2) tertulis:
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 4), Komisi Penyiaran
Indonesia
mempunyai kewenangan:
a) Menetapkan standar program siaran,
b) Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran,
c) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siaran,
d) Memberi sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran,
e)
Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan
pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Yang mengkhawatirkan dunia penyiaran secara umum, apabila
anggota-anggota yang akan menjabat di Komisi Penyiaran Indonesia tidak
mempunyai kompetensi yang cukup untuk mengatur dunia penyiaran Indonesia dengan
kewenangannya yang begitu besar seperti yang dijamin oleh Undang Undang
Penyiaran. Apalagi seluruh anggota Komisi Penyiaran
Indonesia nantinya
akan dipilih dan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tingkat
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
untuk tingkat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah. Sebagai langkah awal, Komisi
Penyiaran Indonesia tingkat Pusat akan dibentuk oleh Pemerintah Pusat,
sementara Komisi Penyiaran Indonesia Daerah akan ditentukan Pemerintah Daerah
Provinsi. Dengan kualitas anggota DPR dan DPRD yang rendah seperti situasi saat
ini, kualitas Komisi Penyiaran Indonesia seperti apa yang akan dihasilkan ?
Dapatkah anda membayangkan, standarisasi penyiaran radio dan televisi seperti
apa yang akan mereka buat ?
Dapat dikatakan, mayoritas kalangan eksekutif dan
legislatif tidak mempunyai kompetensi tentang industri penyiaran radio dan
televisi. Pemahaman tentang paradigma baru teknologi penyiaran yang seharusnya
mereka ketahui, khususnya dalam konteks globalisasi, sangat meragukan. Wajar
saja apabila enam asosiasi penyiaran di Indonesia mengajukan “judicial review”
ke Mahkamah Agung. Karena Komisi Penyiaran Indonesia sudah harus terbentuk
satu tahun setelah Undang Undang Penyiaran berlaku.
Situasi
aplikasi Undang Undang Penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia
seperti kata pepatah Indonesia,
“membeli kucing dalam karung”. Tidak satupun kalangan penyiaran di Indonesia yang
tahu apa warna kucing di dalam karung itu, berapa besarnya dan kelaminnya
jantan atau betina. Tetapi situasi ini sangat berpeluang menghambat pertumbuhan
radio dan televisi, apabila kebijakan-kebijakan yang diterapkan tidak berbasis
pada prinsip dasar demokrasi yang seperti yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 45 – Pasal 28 ( f ) yang
menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi atau memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Perjuangan dan penolakan terhadap usaha-usaha mengontrol kebebasan
media massa Indonesia,
seperti yang pernah dirasakan dalam rezim Orde Baru, dikhawatirkan akan
terulang kembali. Sehingga perjuangan kebebasan informasi dan berpendapat yang
telah dicapai setelah Reformasi terjadi di tahun 1998 akan terganggu
kembali.
§ GERAKAN RADIO KOMUNITAS DI INDONESIA
Di
awal sudah dijelaskan jumlah radio yang tidak berijin di Indonesia yang
menurut Menteri
Komunikasi
dan Informasi sudah mencapai 2000 radio, termasuk diantaranya radio-radio
berkategori Radio Komunitas. Tetapi tidak semua Radio Komunitas mengabaikan
ijin. Karena beberapa Radio Komunitas berusaha untuk bersiaran sesuai prosedur,
bahkan menggalang kekuatan bersama dengan mendirikan asosiasi untuk menegakkan
peraturan. Yang paling terkenal di Indonesia saat ini Jaringan Radio
Komunitas Yogyakarta (JRKY). Lembaga ini
diresmikan tanggal 6 Mei 2002 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Yogyakarta melalui sebuah deklarasi. Tercatat dalam deklarasi tersebut 30 radio
komunitas dan 23 Lembaga Swadaya Masyarakat yang semuanya berada di Yogyakarta, menjadi anggota Jaringan Radio Komunitas
Yogyakarta. Alamat sekretariat mereka di jl. Ngadisuryan 26-B Yogyakarta
55133, telpon dan fax: 0274-418.929, e-mail address: radio4all@telkom.net.
Deklarasi
itu berbunyi: “Dengan menyatukan hati
nurani, rasa kebersamaan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, hak asasi
manusia, serta kebebasan atas informasi, kami: radio-radio komunitas di Yogyakarta beserta jaringan pendukungnya, dengan ini
mendeklarasikan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta.
Jaringan ini kami deklarasikan sebagai wadah bersama untuk memperjuangkan
keberadaan radio komunitas dalam rangka membangun keberdayaan komunitas menuju
bangsa yang cerdas dan sejahtera. Semoga Tuhan yang maha Esa melindungi
perjuangan ini. Amin” 5) Selain deklarasi,
Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta juga menyuarakan motto: “Karena langit ini milik bersama, maka kita
juga berhak menggunakannya. Tolak monopoli frekuensi ! Radio 4 All !”
Karena
Undang Undang Penyiaran pada saat itu belum disahkan, termasuk belum ada
kepastian bahwa Radio Komunitas diijinkan mengudara di Indonesia, tanggal 10
Juni 2002 Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta mengajukan pernyataan tentang
penggunaan gelombang dan frekuensi siaran kepada pemerintah. Isi pernyataan
tersebut adalah: 6)
a) Akan memperhatikan
penggunaan daya pemancar anggota Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta sehingga
tidak lebih dari 100 watt.
b) Menjamin
penggunaan frekuensi yang terkunci dari anggota Jaringan Radio Komunitas
Yogyakarta untuk menjamin kualitas teknis siaran.
c) Bersedia
menggunakan frekuensi atau kanal kosong yang tersedia sesuai dengan lebar pita
frekuensi uang diijinkan. Apabila kemudian frekuensi tersebut akan digunakan
oleh stasion radio komersial, maka Radio Komunitas yang bersangkutan bersedia
menggunakan frekuensi lain yang kosong.
d) Untuk tetap
menjamin kualitas teknik siaran, Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta melakukan
kerjasama dengan tim ahli atau pihak lain yang kompeten.
Sebagai
kelanjutan dari pernyataan tersebut, tanggal 18 Juni 2002 dicapai kesepakatan
antara Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta dengan Dinas Perhubungan Yogyakarta
yang mengatur penggunaan frekuensi radio broadcasting. Kesepakatan tersebut
meliputi: 7)
- Loka monitoring akan menutup mata terhadap penggunaan frekuensi oleh Radio Komunitas.
- Radio Komunitas dilarang berfungsi seperti radio amatir.
- Radio Komunitas dilarang melakukan “co-channel” dengan frekuensi yang sudah digunakan oleh Radio Komersial. Tetapi jika Radio Komersial berlokasi lebih dari 25 kilometer (berkaitan dengan daya pancar radio komersial tersebut), maka frekuensi tersebut bisa dipakai Radio Komunitas.
- Radio Komunitas boleh menggunakan frekuensi yang sudah mereka gunakan saat ini.
Tanggal
27 dan 28 Juli 2002 Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta menyelenggarakan
Jambore di Yogyakarta untuk mempertegas eksistensi mereka melalui pembahasan
Anggaran Dasar dan Kode Etik. Selain itu dalam acara ini Jaringan Radio
Komunitas Yogyakarta melakukan pemilihan ketua dan menyusun pengurus lembaga
ini. Salah satu keputusan penting adalah
keberhasilan menyusun Kode Etik Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta 8).
Isi
Kode Etik tersebut :
- Radio Komunitas tumbuh dan berkembang atas keinginan, kebutuhan komunitasnya.
- Terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan pada komunitasnya.
- Mandiri dan tidak mengutamakan laba.
- Mencerdaskan dan memberdayakan warga komunitas.
- Lebih mengutamakan pengembangan nilai-nilai dan ilmu pengetahuan lokal.
- Menjadi perekat antar etnis, status sosial, agama maupun budaya.
- Menjunjung tinggi demokrasi dan Hak Asasi Manusia berkeadilan gender.
- Mengacu pada azas jurnalistik yang bebas dan bertanggung jawab.
Perkembangan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta
tergolong menarik. Karena baru di kota inilah asosiasi Radio Komunitas tumbuh
dengan cepat serta melakukan aktivitas yang
menunjukkan dinamika semangat mendirikan Radio Komunitas.
Bahkan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta bersama-sama Forum Pengembangan
Media Komunitas (FPMK) tahun 2003 mengajukan proposal kepada Gubernur
Yogyakarta berupa “Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta” tentang “Lembaga Penyiaran Komunitas”. Tetapi di sisi yang lain, kesepakatan antara
Dinas Perhubungan Yogyakarta dengan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta yang
mengijinkan Radio Komunitas menggunakan frekuensi radio, menunjukkan
ketidaksinkronan pengaturan frekuensi radio yang seharusnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah Yogyakarta. Karena itu saat
ini populasi radio broadcasting di Yogyakarta tergolong besar akibat dinamika
Radio Komunitas yang berkembang pesat.
Meski tidak didukung data yang akurat, penulis yakin
pertumbuhan Radio Komunitas juga tumbuh subur di seluruh wilayah Indonesia,
meski pengaturannya tidak sebaik di Yogyakarta. Bahkan sebagian besar tidak
mempunyai pengetahuan yang cukup, bahwa untuk mendirikan sebuah radio
memerlukan ijin dari pemerintah untuk menggunakan frekuensi, khususnya ijin
penggunaan frekuensi dan gelombang siaran. Terdapat pemahaman yang salah, bahwa
untuk menyelenggarakan siaran Radio Komunitas boleh menggunakan frekuensi
siaran dengan sesuka hati. Seakan-akan atas nama komunitas dan kepentingan
masyarakat, maka setiap orang boleh saja menyelenggarakan siaran tanpa
persyaratan apapun.
Tentu saja dinamika semangat komunitas-komunitas
menyuarakan kepentingan mereka tidak dapat diabaikan. Karena berdasarkan
pengalaman selama ini Radio Republik Indonesia dan Radio Swasta (Komersial)
tidak secara penuh menyuarakan berbagai kepentingan komunitas. Seperti isyu
kesenian, kebudayaan, tradisi masyarakat, bahasa daerah dan isyu-isyu yang
ruang geraknya hanya sebatas komunitas itu. Radio Republik Indonesia selama ini
menggunakan pola siaran “top down”, yaitu lebih berkonsentrasi pada informasi
pemerintah tanpa mengutamakan informasi masyarakat yang bersifat “bottom up”.
Sedangkan Radio Swasta (Komersial) selama ini berkonsentrasi pada kepentingan
bisnis. Karena itu mereka lebih banyak menyiarkan acara-acara yang mempunyai pengaruh
terhadap “program rating” agar
memperoleh iklan. Karenanya Undang
Undang Penyiaran yang mengakomodasikan Radio Komunitas dan Radio Publik,
merupakan solusi kongkrit terhadap kepentingan masyarakat untuk membangun
demokrasi dan menyediakan peluang masyarakat
berkomunikasi lebih bebas dan lebih terbuka.
§ STUDI KASUS RADIO KOMUNITAS BALAI BUDAYA
MINOMARTANI YOGYAKARTA 9)
Untuk membuktikan alasan bahwa Radio Komunitas perlu
segera diakomodasikan kepentingannya dan haknya untuk bersiaran, Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani
Yogyakarta mengambil inisiatif untuk segera “on air”. Secara historis Radio Komunitas Balai Budaya
Minomartani berusaha untuk bersiaran sejak tahun 1995. Menurut Surowo, salah seorang pengurus Radio
Komunitas Balai Budaya Minomartani, perintis radio ini dianataranya adalah Romo
Ruedi Hofmann seorang biarawan
Katolik yang aktif mendirikan Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta. Keinginan
ini karena terinspirasi “Radio Latacunga” di Amerika Latin, dengan tujuan
mengangkat suara masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan bersuara (voice to
the voiceless), serta memediakan orang yang tidak mempunyai media (media of the
medialess).
Antara tahun 1999-2000 Radio Komunitas Balai Budaya
Minomartani mendapat teguran dari lembaga monitoring radio karena bersiaran
tanpa ijin resmi. Karenanya tahun 2000 radio ini berhenti bersiaran sama
sekali. Tanggal 10 Juni 2002 Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani
mengajukan Ijin Siaran Sementara dan bersiaran di frekuensi 97.5 FM. Tetapi
penggunaan frekuensi ini kembali bermasalah, karena siaran Radio Komunitas
Balai Budaya Minomartani mengganggu saluran komunikasi penerbangan di bandar
udara Yogyakarta. Sehingga
radio ini harus pindah ke frekuensi 107.9 FM sampai saat ini.
Radio
Komunitas Balai Budaya Minomartani merupakan radio yang unik, karena berlokasi
di sebuah Balai Budaya di kawasan bernama Minomartani, Kabupaten Sleman, tidak
jauh dari kota Yogyakarta. Studio radio ini sebenarnya merupakan sebuah
gedung tempat masyarakat di kawasan Minomartani melakukan aktivitas kesenian.
Bersiaran selama 6 jam sehari, Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani
menetapkan Visi sebagai “The Radio that encounters”. Yaitu mempertemukan
siapapun, orang kaya dan miskin, berbagai agama dan budaya sehingga akan
tercipta kedamaian, keharmonisan, kesetiakawanan, kepedulian untuk pertumbuhan
mutu kehidupan. Radio hanyalah alat untuk berinteraksi, berkomunikasi dan
edukasi. Sedangkan Misinya: “Memediakan orang yang tidak punya media”.
Berbagai
macam siaran diselenggarakan Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani. Ada diskusi dan talkshow,
juga siaran musik etnik Indonesia,
serta penampilan kelompok musik tradisional Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah
lainnya di Balai Budaya Minomartani yang disiarkan langsung melalui radio.
Bukan
hanya orang dewasa saja yang bersiaran, tetapi juga anak-anak memperoleh
kesempatan untuk bersiaran. Bahkan Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani
juga berhasil menggagalkan pencurian sapi. Menurut cerita Surowo, ketika itu
ada warga desa yang melaporkan ke Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani,
bahwa sapinya dicuri orang. Akibat siaran radio ini, warga desa lainnya
kemudian bersama-sama mencari sapi tersebut dan pencurinya. Kejaran warga
ternyata membuat pencuri lari dan meninggalkan sapi curiannya.10)
Peristiwa
ini menggembirakan komunitas Minomartani, karena radio mereka telah membuktikan
manfaat yang besar dan sudah seharusnya memperoleh prioritas ijin bersiaran
dari Komisi Penyiaran Indonesia
nantinya.
§ RADIO HARAU MEGANTARA MEMBERDAYAKAN KESENIAN LOKAL 11)
Kekuatan radio mengembangkan
hak-hak masyarakat sebagai bagian demokratisasi, terjadi di Radio Harau
Megantara yang berlokasi di kota
Payakumbuh, kurang lebih 3 jam perjalanan dengan mobil dari kota Padang,
ibukota Sumatra Barat.
Radio Harau Megantara
merupakan Radio Komersial yang saat ini telah menjadi “icon” radio dengan
format kesenian. Khususnya kesenian tradisional masyarakat Sumatra Barat yang
disebut sebagai budaya Minang. Radio ini menggunakan bahasa pengantar Minang,
dimana penyiarnya bersiaran dengan bercakap-cakap dalam bahasa Minang. Sementara jenis musik yang mereka
perdengarkan dikenal dengan sebutan “Pop Minang”. Radio Harau Megantara
berkonsentrasi pada kebudayaan tradisional Minang setelah Yuzermin sebagai pemilik radio tersebut mengikuti “Pelatihan
Produksi Siaran Musik Etnik” yang diselenggarakan The Ford Foundation tahun
1997 di Yogyakarta. Sebelum tahun 1997 Radio Harau Megantara sama seperti
kebanyakan radio hiburan di Indonesia yang memperdengarkan berbagai jenis
musik, untuk menghibur berbagai lapisan masyarakat yang seleranya
bermacam-macam. Setelah mengikuti pelatihan dan menemukan fakta bahwa salah
satu kesenian tradisi Minang yang disebut “Saluang Dendang” berada dalam
keadaan kritis, karena semakin sedikit peminatnya, Yuzermin memutuskan untuk
mengubah Radio Harau Megantara menjadi radio yang berpihak pada pengembangan
seni tradisional Minang.
Penyiaran musik etnik yang dilaksanakan Yuzermin
di Radio Harau Megantara relatif berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan.
Dari dialog dan kunjungan penulis ke radio Harau Megantara ditemukan fakta
bahwa radio ini telah menjadi “icon” penyiaran seni tradisi
Minang di wilayah Payakumbuh hingga Bukittinggi
dan perbatasan provinsi lain yaitu Riau. Keberadaan mereka telah menunjukkan
peran sebagai pengembang, pemberdaya dan memberi inspirasi pada pertumbuhan
seni tradisi Minang. Pelaksanaan kegiatan “on-air” dan “off-air” berjalan
harmonis menuju satu visi yang sama. Yaitu visi media massa yang menjadi milik
khalayak Minang.
Semangat kerjasama antara Radio Harau Megantara dengan
komunitas seniman, musisi dan stakeholder kebudayaan Minang terjalin bagus.
Pendekatan manajemen, aplikasi praktis dan usaha penggalangan massa pendengar
berjalan mulus. Pendekatan dengan pemerintah daerah dan unsur birokrasi juga
tidak bermasalah. Sehingga Radio Harau Megantara berhasil menciptakan jaringan
tradisi Minang secara luas dan memperkuat “positioning” nya sebagai radio
Minang terpenting di Sumatra Barat. Hal ini terlihat dari partisipasi pendengar
terhadap siaran dan keterlibatan mereka pada program “off-air”.
Untuk mengukur kadar keberhasilan siaran musik etnik
Minang Radio Harau Megantara, penulis mewawancarai Safrul - Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten 50 Kota.
Yang bersangkutan juga tercatat sebagai aktivis Dewan Kesenian bernama Luak
Limo Puluah, yang menangani pengembangan dan aktivitas kesenian di wilayah
tersebut. Resume yang disampaikan Safrul tentang bidang kerja dan kegiatannya
secara garis besar sebagai berikut:
- Sebagai
pejabat yang bertanggung jawab terhadap perkembangan kesenian dan kebudayaan,
yang bersangkutan menangani 3 wilayah: Bukittinggi, Batu Sangkar dan Payakumbuh
- Saat
ini di Payakumbuh tercatat ragam dan jumlah kelompok kesenian yang terdiri dari
:
a) 64 pedendang
Saluang Dendang,
b) 40 peniup Saluang,
c) 15 kelompok
Talempong,
d) 10 kelompok Randai
dan
e)
500 seniman
lainnya yang hidup dari seni tradisi
- 3 bulan sekali
mengadakan tatap muka dengan para seniman tradisi
- Sering
mengadakan silaturahmi dengan menghadiri pementasan-pementasan seni tradisi di
berbagai tempat dan kesempatan, seperti di Radio Harau Megantara.
Paparan angka, data dan kondisi tersebut menurut Safrul
disebabkan oleh Radio Harau Megantara. Sebelum Radio Harau Megantara mengerucutkan
format siarannya total Minang, data dan jumlah kelompok kesenian di Payakumbuh
hanya 50 proses dari jumlah sekarang. Hanya dalam beberapa tahun saja jumlah
kelompok kesenian meningkat seratus prosen karena dorongan siaran-siaran Radio
Harau Megantara, juga kesempatan para seniman mengaktualisasikan diri dan
mengekspresikan musik mereka di Radio Harau Megantara. Setiap hari Rabu malam
para seniman musik “Saluang Dendang” berkesempatan menampilkan musik mereka
secara “live”, yang disiarkan langsung Radio Harau Megantara. Selain itu mereka
juga ditonton masyarakat yang secara khusus datang ke radio untuk menikmati
pertunjukan tersebut.
Perkembangan positip kegiatan Yuzermin dan Radio
Harau Megantara bukan saja berhasil mendapatkan pendengar yang besar, tetapi
secara bisnis Radio Harau Megantara berjalan baik karena program siarannya
berhasil mendatangkan iklan. Pertengahan tahun 2002 ia mendirikan lagi sebuah
radio baru bernama Radio Jam Gadang di kota Bukittinggi, yang jaraknya sekitar
33 kilometer dari Payakumbuh.
Untuk menghindari “pertempuran” merebut pendengar
dan iklan antara Radio Jam Gadang dengan Radio Harau Megantara, Yuzermin
mengarahkan Radio Jam Gadang fokus pada subkultur Minang yang dikenal sebagai
budaya Kurai. Seluruh penyiar Radio Jam Gadang wajib berbahasa daerah Kurai,
sementara musik yang diputar Tradisi hingga Pop Minang, sama seperti yang
diperdengarkan Radio Harau Megantara. Hanya dalam 4 bulan Radio Jam Gadang
sudah menunjukkan peningkatan bisnis iklannya dengan sangat signifikan,
menyamai Radio Harau Megantara
Selain itu sejak tahun 1998, radio Harau Megantara mengadakan festival
musik Saluang dan musik Pop Minang. Istilahnya radio Harau Megantara mengadakan
pesta besar 7 hari 7 malam. Pada siang hari festival menyelenggarakan “Festival
Penyanyi Minang” yang setiap tahun rata-rata mencapai 200 peserta. Malam
harinya diadakan “Festival Musik Saluang Dendang”.
§ RADIO SUARA SURABAYA DIJULUKI PARLEMEN TANDINGAN
Radio
Suara Surabaya yang bersiaran di FM 100.55 saat ini tercatat sebagai radio
“interactive” yang terkemuka di Indonesia.
Format
siarannya memberi peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk memberikan
informasi secara “on air” atau memberi peluang masyarakat menyampaikan opini
tentang banyak persoalan di lingkungan mereka. Banyak julukan yang diberikan
untuk Radio Suara Surabaya. Di antaranya “radio lalu lintas”, “radio tempat
orang komplain”, “radio ala Lembaga Swadaya Masyarakat”, bahkan ada yang
menyebut “parlemen tandingan”. Khusus julukan “parlemen tandingan” karena
banyak persoalan kota yang seharusnya diselesaikan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah atau Pemerintah Kota, baru bisa diselesaikan setelah mengudara di Radio
Suara Surabaya. Mulai dari masalah pelayanan pemerintah kota, ketidak beresan
fasilitas umum seperti , sarana kelalu lintasan, air bersih, listrik dan
telpon. Bahkan Radio Suara Surabaya juga dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat
saling memberi pertolongan dan informasi. Hal-hal yang dapat dikatakan
monumental akibat siaran “interactive” adalah keikut sertaan masyarakat
mengatasi persoalan kejahatan di Surabaya, misalnya perampokan dan pencurian
mobil. Sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2002 Radio Suara Surabaya melalui
siarannya dan juga partisipasi masyarakat berhasil menggagalkan 7 perampokan
mobil. Modusnya para korban pencurian itu biasanya melaporkan secara langsung
di Radio Suara Surabaya bahwa mobil mereka dicuri, sambil memberikan identitas
mobil tersebut.
Pendengar,
khususnya yang sedang mengendarai mobil, yang mendengarkan informasi tersebut
langsung memberikan perhatian dan mengamati apakah mereka berpapasan dengan
kendaraan yang sedang dicuri tersebut.
Biasanya yang menemukan mobil yang dicuri tersebut para pendengar yang
kemudian melaporkannya ke Radio Suara Surabaya secara “live”, sehingga
memudahkan polisi menangkap pencuri tersebut. Peristiwa penting lainnya adalah
pemberhentian Walikota Surabaya Soenarto Soemoprawiro oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Surabaya di tahun 2001, yang sedikit banyak juga dipengaruhi oleh opini
pendengar Radio Suara Surabaya yang menyatakan ketidak mampuan walikota
tersebut mengatasi berbagai masalah kota, melalui pernyataan dan pendapat
mereka yang sangat kritis.
Sebelum
menjadi radio yang populer karena mempelopori siaran “interactive”, Radio Suara
Surabaya tercatat sebagai radio berformat “News and Talk” yang pertama di Jawa
Timur. Sejak tahun 1983 Radio Suara
Surabaya telah mengembangkan konsep jurnalisme radio, khususnya “local
journalism” di tengah dominasi kewajiban merelay siaran Radio Republik
Indonesia.
Bahkan
ketika pemerintah memberi larangan radio komersial membuat berita, Radio Suara
Surabaya tetap jalan terus dan memproduksi materi pemberitaan sesuai dengan
Visinya. Anehnya pemerintah dalam hal ini Departemen Penerangan justru tidak
keberatan ketika Radio Suara Surabaya menyatakan tidak pernah membuat “berita”
kecuali “informasi”. Padahal bagi Radio
Suara Surabaya tidak ada perbedaan substansi antara “berita” dan “informasi”.
Selain larangan untuk membuat berita, beberapa kali Radio Suara Surabaya
mendapat telpon dari aparat keamanan untuk tidak memberitakan sebuah peristiwa.
Karena suasana represif saat itu, Radio Suara Surabaya harus tunduk pada
larangan-larangan itu. Masa-masa sulit itu dianggap sebagai fase Radio Suara
Surabaya memantapkan kedudukannya sebagai radio yang pemberitaannya mulai
diperhitungkan masyarakat. Masa ini juga menjadi proses Radio Suara Surabaya
belajar tentang “radio journalism” untuk kemudian berkembang sebagai radio
informasi yang berpengaruh di Surabaya khususnya.
Peran
Radio Suara Surabaya sebagai tempat masyarakat berlajar berdemokrasi semakin
tampak di tahun 1994, melalui program “interactive”. Radio Suara Surabaya
sekali lagi menjadi pelopor dengan memberikan kesempatan masyarakat memberikan
pendapat dan informasi secara “live” di radio melalui telpon. Saat itu juga
bersamaan dengan perkembangan telpon seluler di Indonesia, sehingga masyarakat
Surabaya mulai banyak berbicara di radio secara lebih bebas.
Para
pengguna telpon seluler juga mulai banyak melaporkan situasi lalu lintas ke
Radio Suara Surabaya. Pendengar lainnya melalui telpon di rumah (fixed line)
menelpon untuk memberikan pendapat atau melaporkan hal-hal kritis tentang kota
Surabaya. Dalam waktu singkat program
ini mendapat respon luas bukan saja dari masyarakat, tetapi juga dari aparat
pemerintah, polisi dan parlemen. Mereka melihat peluang berdialog dan berkomunikasi di radio
secara terbuka dan transparan. Partisipasi masyarakat menjadi besar karena
Radio Suara Surabaya menerapkan filosofi siaran: “News, Interaktif dan
Solutif”. Kata pentingnya ada pada “solutif”, bahwa setiap siaran Radio Suara
Surabaya harus dapat memberikan solusi terhadap berbagai hal yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Sikap kritis terhadap persoalan apapun dan kepada
siapapun bukan berarti mengadili mereka. Siaran Radio Suara Surabaya tidak
dibenarkan menjadi tempat untuk mengadili seseorang. Tetapi harus menjadi
tempat masyarakat memperoleh solusi sekaligus juga menjadi tempat orang
memberikan solusi sebagai bagian partisipasi mereka.
Secara
nyata perkembangan pendengar Radio Suara Surabaya berkembang pesat, khususnya
untuk segmentasi masyarakat kelas Menengah dan kelas Atas. Bahkan sejak tahun
1998 Radio Suara Surabaya menjadi radio yang memiliki pendengar terbanyak di
kelasnya. Yaitu pendengar dewasa dalam umur (25-50 tahun), rata-rata
berpendidikan perguruan tinggi, berpenghasilan kelas Menengah dan kelas Atas
dengan pola belanja dalam rumah tangga mereka rata-rata minimal Rp. 1 juta
per-bulan. Menurut lembaga penelitian AC Nielsen atau Nielsen Media Research,
jumlah pendengar Radio Suara Surabaya mencapai
sekitar 1,4 juta pendengar di kawasan Surabaya dan “Greater Area” 12) Selain itu perilaku pendengar Radio Suara Surabaya
menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap persoalan yang terjadi di
lingkungan mereka. Bahkan penelitian yang lain menyebutkan jumlah pendengar
Radio Suara Surabaya, khususnya untuk acara di pagi hari mencapai 6 juta
pendengar di sebagian wilayah di Jawa
Timur. 13)
Pada
tahun 2000 Radio Suara Surabaya mengadakan aktualisasi pernyataan Visi dan Misi
nya. Pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab Radio Suara Surabaya terlihat
dari Visinya yang berbunyi: Suara
Surabaya adalah media massa sumber pemberdayaan dan kegiatan demokratisasi masyarakat,
melalui usaha kegiatan media massa, yang mengikuti
perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi
Makna “pemberdayaan
masyarakat” dan “demokratisasi masyarakat” berkait erat dengan pemahaman dan
keberpihakan pada pluralisme. Pemberdayaan bermakna usaha-usaha meningkatkan
kualitas khalayak pendengar. Sementara demokratisasi bermakna kemampuan
khalayak pendengar menerima perbedaan, bahkan keterbukaan terhadap hal-hal yang
beragam dan berlawanan. Target akhir yang harus dicapai Radio Suara Surabaya
secara umum, khalayak pendengar mampu mengapresiasi perbedaan dan keragaman
sebagai realita secara harmonis dan dewasa. Perbedaan harus dipandang sebagai
aset dan kekayaan kehidupan dan anugerah, sehingga perbedaan seharusnya bukan
sumber konflik dan perpecahan. Itulah
sesungguhnya makna demokrasi.
Secara kuantitatif
pertumbuhan penelpon dan peserta “interactive” meningkat dari tahun ke tahun.
Terutama setelah Radio Suara Surabaya bersiaran selama 24 jam per-hari sejak
tanggal 10 November 2001, setelah sebelumnya bersiaran hanya 20 jam per-hari.
Menurut laporan Kantor Telpon di Surabaya, akibat banyak pendengar yang ingin
menelpon ke Radio Suara Surabaya, menyebabkan tingkat gagal pendengar untuk
menelpon ke saluran
telpon yang dapat
menampung pendengar yang ingin mengikuti program “interactive” setiap hari,
rata-rata mencapai 86% 14). Artinya hanya 14% dari seluruh
pendengar yang berminat berbicara di Radio Suara Surabaya memperoleh kesempatan
menyampaikan informasi dan opini mereka, atau rata-rata sekitar 9.500 penelpon
setiap bulannya. 15)
Untuk mengatasi
tingkat gagal telpon yang tinggi tersebut, Radio Suara Surabaya sejak tahun
2002 memberikan fasilitas alternatif berupa saluran “Short Message
Service-SMS”. Meskipun dalam kenyataannya bahwa tingkat gagal menelpon tidak
otomatis terkurangi. Tingkat penelpon yang tinggi di Radio Suara Surabaya
disebabkan pola programmingnya memberikan peluang penelpon lebih banyak untuk
“on air”, karena Radio Suara Surabaya tidak menganut konsep “blocking program”.
Dengan demikian penelpon dapat “on air” sewaktu-waktu. Bahkan di tengah acara
talkshow, pendengar dapat melaporkan peristiwa-peristiwa yang dianggap penting.
Seperti kebakaran, kecelakaan lalu lintas, pencurian dan sebagainya. Kecenderungan
penelpon meningkat, termasuk juga jumlah pendengar, terjadi setelah Reformasi
melanda Indonesia tahun 1998, yang membuat masyarakat merasa mempunyai
kebebasan untuk berbicara lebih terbuka tentang apa saja. Akibatnya dari
beberapa laporan masyarakat yang penulis terima, beberapa institusi pelayanan
publik di Surabaya mewajibkan para karyawannya mendengarkan Radio Suara
Surabaya setiap hari untuk mengantisipasi apabila institusi mereka mendapat
kritik dari masyarakat. Di antaranya Kepolisian di Surabaya dan Jawa Timur,
Kantor Hubungan Masyarakat serta beberapa instansi yang berada di lingkungan
Pemerintah Kota, Perusahaan Listrik Negara di Surabaya, Perusahaan Daerah Air
Minum di Surabaya dan institusi sejenis lainnya.
Untuk perannya itu
Radio Suara Surabaya beberapa kali mendapat penghargaan. Tahun 1993 Gubernur
Jawa Timur memberikan penghargaan karena peran serta memberikan informasi
tentang Jawa Timur ke masyarakat. Tahun 1994 Pemerintah Republik Indonesia
memberikan penghargaan sebagai radio dengan kriteria pengelolaan terbaik di
Indonesia. Tahun 1999 Kepolisian Kota Surabaya dan Kepolisian Jawa Timur
memberikan 2 penghargaan karena Radio Suara Surabaya mampu membangun kesadaran
masyarakat berpartisipasi mengatasi pertumbuhan kejahatan di Surabaya dan jawa
Timur. Tahun 2000 Menteri Perhubungan juga memberikan penghargaan karena
peranan Radio Suara Surabaya yang mengkritisi kinerja PT. Telkom sehingga
mereka dapat meningkatkan pelayanannya menjadi lebih baik. Tetapi bagi Radio
Suara Surabaya yang lebih penting bukan penghargaan-penghargaan ini, melainkan
keberhasilannya menggerakkan
masyarakat memberikan
partisipasi mereka untuk berbicara dan berpendapat secara bebas namun
konstruktif. Radio Suara Surabaya juga menunjukkan keberhasilannya mendidik
masyarakat untuk berbicara tentang hak-hak publik sekaligus memberikan solusi
kongkrit terhadap berbagai persoalan kota Surabaya.
Perkembangan
terakhir, Radio Suara Surabaya sejak tahun 2002 berhasil mengembangkan Suara
Surabaya Media. Karena saat ini Radio Suara Surabaya telah mampu melahirkan
website Suara Surabaya Net, majalah Mossaik dan tahun ini juga akan lahir radio
baru yang dikelola Suara Surabaya Media.
§
OTONOMI
DAERAH MENJAGA PERAN DEMOKRATISASI RADIO TETAP KUAT
Dorongan
terhadap demokratisasi juga ditandai oleh kelahiran Undang Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah. Untuk pertama kali juga daerah-daerah di Indonesia
mempunyai peran dan dapat memaksimalkan potensinya untuk kesejahteraan
masyarakat. Eksistensi ini tidak pernah dirasakan daerah-daerah di Indonesia
karena segala sesuatu terpusat di Jakarta.
Keuntungan lain dari Otonomi Daerah menyangkut pengelolaan dana yang sebagian besar dapat langsung dikelola
daerah setempat. Tidak lagi seluruhnya harus dikirim ke Jakarta dan menunggu pembagian dari Jakarta.
Prinsip-prinsip
dasar Otonomi Daerah dapat diamati dari referensi-referensi berikut ini:
- Menimbang butir (b):
Bahwa
dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
- Menimbang butir (c):
Bahwa dalam menghadapi perkembangan
keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan
global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional, serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah:
Yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian Otonomi,
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bertitik
tolak dari Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, menunjukkan
posisi radio yang sangat penting sebagai media komunikasi dan sosialisasi
Otonomi Daerah. Terutama yang menyangkut keterlibatan Radio menyebarluaskan pokok-pokok pikiran mengenai:
a)
Prinsip-prinsip demokrasi,
b)
Peran serta masyarakat.
c)
Pemerataan dan Keadilan,
d)
Memperhatikan
potensi dan keanekaragaman Daerah,
e)
Peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, dan
f)
Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan.
Radio siaran secara fisik bukan
penyelenggara otonomi daerah, dan tidak mungkin mengambil alih peran dan
kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.
Peran radio lebih pada kegiatan “mediasi, fasilitasi dan moderasi”. Percepatan
sosialisasi, pemahaman dan pemberdayaan otonomi daerah harus gayung bersambut.
Keterbukaan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota menjadi kunci produktivitas pemahaman
Otonomi Daerah.
Pertanyaan utamanya: konsep komunikasi
seperti apa yang sudah dirancang Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, khususnya
komunikasi internal jajaran Pemerintah Daerah dan komunikasi eksternal kepada
masyarakat termasuk radio. Dari sisi yang berbeda, Intensitas komunikasi
seperti apa yang telah dirancang radio dan bangunan kanal-kanal informasi
seperti apa yang memudahkan arus informasi dari masyarakat dan untuk masyarakat
melalui siaran radio.
Dalam semangat Otonomi Daerah, Radio Siaran tidak lagi pantas hanya sebagai koridor komunikasi. Karena Radio Siaran berhak memposisikan dirinya sebagai media yang berinisiatif mengalirkan isyu-isyu Otonomi Daerah, sekaligus sebagai alun-alun pertemuan ragam informasi yang dikelola untuk mencapai target solusi dan kesejahteraan Masyarakat. Masalahnya, posisi ini bukan hak, tetapi inisiatif radio untuk menempatkan dirinya dalam peran-peran tersebut.
Prinsip-prinsip Otonomi Daerah sangat dekat dengan realita
multikultur yang luar biasa beragamnya di Indonesia. Karena Indonesia
mempunyai 13.000 pulau yang dihuni masyarakat dari sekitar 300 etnisitas yang
berbeda.16) Gagasan radio siaran sebagai
medium yang diangan-angankan menjadi representasi konsep multikultur bukan
sesuatu yang baru atau berlebihan. Hal ini juga paralel dengan misi yang harus
diemban radio yang berformat apapun. Kembali mengacu pada Undang Undang
Penyiaran No. 32 Tahun 2002 sangat jelas semangat multikultur yang harus
mendasari siaran radio, terutama dalam pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:
Menimbang
(butir-c)
Bahwa untuk
menjaga integritas nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya
otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin
terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menimbang
(butir-d)
Bahwa lembaga
penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam
kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung
jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
serta kontrol dan perekat sosial.
Pasal-5
( j )
Penyiaran
diarahkan untuk: memajukan kebudayaan nasional
Berdasarkan pengalaman, aplikasi konsep multikultur di
radio siaran mudah diterapkan, apabila pemahaman ideologi multikultur telah
dirumuskan dan disepakati unsur manajemen dan pelaksana radio tersebut.
Karenanya sebagai langkah awal, penulis akan merumuskan
lebih dulu sudut pandang makna multikultur sebelum
menawarkan cara praktikumnya. Sedikitnya konsep multikultur bisa ditinjau dari
sudut pandang: Etnisitas, Ideologi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan),
“Frame of References” dan lainnya.
Multikultur dalam persepsi penulis adalah “Pluralisme”. Yaitu keberagaman dalam
makna yang luas.
Pertimbangannya:
a. Frekuensi siaran yang digunakan seluruh radio merupakan “ranah publik”
(public sphere). Dengan demikian secara ideal seluruh unsur publik berhak
memperoleh manfaat tanpa diskriminasi.
b. Radio siaran berkarakter media massa,
dengan demikian dia menjadi “representasi” khalayak pendengar. Basisnya adalah kepentingan pendengar bukan kepentingan dan selera
manajemen radio semata-mata.
c.
Keterbatasan frekuensi untuk radio
siaran menyebabkan keinginan banyak orang membangun radio siaran juga terbatas.
Bisa dipastikan keinginan kelompok masyarakat bersiaran radio tidak tersalurkan
seluruhnya. Dengan
demikian radio yang memperoleh hak mengelola frekuensi dan gelombang dituntut
mengakomodasikan kepentingan-kepentingan tersebut.
Terlepas dari seluruh
persyaratan teknis, multikultur akan terapresiasi dengan baik di radio apabila
konsep multikultur tidak dijadikan sebagai tujuan secara semata-mata. Membangun
etos multikultur di dalam kinerja radio jauh lebih penting. “Tersirat” jauh lebih penting dari yang “tersurat”. Bagi penulis multikultur adalah
“jiwa”, “semangat” dan “cara hidup”. Bila penyiar dan jurnalis radio masih
dikungkung semangat monokultur, aturan apapun tentang multikultur yang
dipersyaratkan radio tidak akan berpengaruh banyak. Multikultur merupakan
realita kehidupan global.
Penghargaan terhadap
multikultur tidak harus dengan mengorbankan identitas lokal. Jati diri dan
peran sebagai representasi publik dan komunitas tidak berarti harus dibunuh
oleh radio. Tetapi manakala radio, penyiar dan jurnalis mempertontonkan kulturnya
dalam paradigma dan keluasan wawasan yang multikultur, dia akan hadir dalam
kearifan yang tinggi dan harmonis. Apalagi radio, penyiar dan jurnalis saat ini
menggunakan frekuensi dan gelombang siaran atas nama ranah publik. Monokultur
dalam konteks kebudayaan dan tradisi lokal tetap menyimpan realita multikultur.
Minimal heteroginitas pikiran dan
idealismenya. Karena
itu kemampuan memahami multikultur merupakan modal setiap tarikan nafas sebelum
kita bisa meneriakkan kata: Demokrasi.
Tetapi melihat sejarah perkembangan radio non-RRI, memang benar tidak semua radio siap menjejakkan kakinya di ranah jurnalisme. Kewajiban relay RRI dan berbagai larangan memproduksi berita di rezim Orde Baru, membuat radio mandul dan butuh waktu mengubah pondasinya. Bahkan ketika reformasi melanda Indonesia, banyak radio yang tidak siap ketika mendadak ditagih khalayak pendengar untuk memproduksi materi-materi informasi. Ada yang siap dan langsung melaju, tetapi sebagian besar maksimalnya hanya sebatas kesadaran dan pasrah menyaksikan radio-radio yang sudah berformat jurnalisme tancap gas dan tinggal landas. Yang pasti fakta nyatanya pasca gerakan reformasi 1998, radio jurnalistik panen pengaruh, panen pendengar termasuk panen iklan untuk radio swasta.
§
PERTUMBUHAN
IKLAN RADIO MEMPERKUAT PERAN RADIO SWASTA
Peran dan potensi radio yang besar terindikasi pula dari
pertumbuhan periklanannya, khususnya indikator bagi radio swasta. Tentang pertumbuhan periklanan media massa di
Indonesia secara umum, Ketua umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(PPPI), RTS Masli, memprediksi
industri periklanan dalam negeri tahun 2003 akan terus tumbuh sekitar 20
persen. Baru-baru ini, lembaga riset Nielsen Media Research
memaparkan berdasarkan perhitungannya, belanja iklan di media massa Indonesia
pada kuartal ketiga 2002 tumbuh sebesar 34 persen dibanding kuartal yang sama
tahun 2001 menjadi US$ 365 juta (Rp 3,285 triliun). Angka pertumbuhan ini
merupakan angka tertinggi di kawasan Asia Pasifik, diikuti Cina sebesar 27
persen, Singapura 14 persen, dan Thailand 14 persen. 17)
Meski
data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) tersebut menyebutkan angka
belanja iklan selama tahun 2001 lalu untuk media radio masih paling kecil
dibandingkan dengan media surat kabar, majalah, televisi dan media luar ruang,
para pengelola radio swasta masih tetap optimis potensi radio komersial karena
data tersebut belum menghitung potensi periklanan secara lokal. 18)
Tercatat
belanja iklan radio di tahun 2001 sekitar Rp 215 milyar, surat kabar Rp 1,8
trilyun, majalah Rp 266 milyar, dan tabloid Rp 133 milyar. 19) Menurut Research and Development Departement Persatuan
Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia Pusat, Iklan di radio diprediksikan bisa
naik sampai 7% dan bukan hanya di bawah 4% seperti yang diperkirakan P3I,
karena selama ini penelitian hanya dari perusahaan periklanan dan belum
mencakup local buyer yang potensial. 20)
Sekretaris
Jenderal PPPI Aswan Soendjojo menambahkan angka pertumbuhan industri periklanan
di tanah air sebenarnya bisa berlipat ganda dari yang sekarang, asalkan saja
gejolak sosial politik, kepastian iklim berinvestasi, dan daya beli masyarakat
tinggi. Karena akibat krisi multi dimensi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia,
masyarakat cenderung membeli barang-barang kebutuhan dasar. Menurut Aswan
Soendjojo Indonesia
adalah negara berkembang dengan pasar yang sangat besar.
Pertumbuhan
periklanan khususnya untuk radio komersial akan memperkuat peran radio
komersial memberdayakan masyarakat. Karena bagaimana mungkin radio komersial
mampu memainkan peran sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat dan demokrasi,
bila dirinya berada dalam posisi yang sulit dan lemah. Pertumbuhan iklan radio
yang sehat, akan menciptakan bola salju perkembangan radio swasta termasuk
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di bidang penyiaran.
§
MEMPERKUAT
SEMANGAT DAN KETRAMPILAN
Potensi
peran radio sebagai motivator dan pendorong proses demokrasi di Indonesia sudah
dapat dibuktikan kekuatannya. Tetapi potensi ini menjadi tidak berarti banyak,
manakala penyelenggara siaran tidak merencanakan peningkatan kompetensi seluruh
tenaga pelaksana siaran. Ketertinggalan radio-radio di Indonesia secara umum
adalah wawasan dan ketrampilan jurnalisme radio sebagai bagian terpenting untuk
menggerakkan demokratisasi. Citra radio di Indonesia yang lebih mengarah
sebagai radio hiburan dan musik, sering menghambat kekuatan potensi radio
sebagai sumber informasi.
Keterbatasan
ini sebagai akibat terlalu sedikit lembaga pendidikan dan pelatihan keradioan
di Indonesia.
Fakultas Komunikasi yang terdapat dibeberapa perguruan tinggi tidak secara
spesifik melahirkan lulusan yang
profesional di bidang keradioan. Kebanyakan mereka lulus sebagai komunikator
yang tidak terlalu paham tentang aplikasi perkembangan ilmu keradioan, termasuk
perkembangan teknologi yang berkembang pesat.
Beruntung
dalam masa transisi antara keruntuhan rezim Orde Baru menuju ke Reformasi,
beberapa lembaga asing melakukan workshop tentang radio. Fokus workshop
kebanyakan tentang jurnalisme radio. Internews
Indonesia misalnya banyak melakukan
pelatihan di Indonesia
maupun di Amerika, juga penerbitan banyak buku-buku panduan tentang produksi
radio, jurnalisme radio, teknik penyiar dan pemasaran.
Mereka
juga beberapa kali mendatangkan instruktor asing ke Indonesia. Beberapa di antaranya
merupakan buku terjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Lembaga lain Friedrich Naumann
Stiftung-FNS Jerman yang beberapa kali menyelenggarakan lomba produksi
Features Radio tentang demokrasi, parlemen dan otonomi daerah. FNS juga menyelenggarakan workshop tentang jurnalisme
radio. Mereka juga menerbitkan buku berjudul “Politik dan Radio”. Unesco Indonesia juga menjadi lembaga
yang sangat produktif memberdayakan potensi radio siaran sebagai penggerak
demokrasi. Kegiatannya juga meliputi workshop dan penerbitan banyak buku.
Selain itu Unesco juga berkonsentrasi
pada workshop tentang Reasearch and Survey, dan memberi bantuan
peralatan produksi pemberitaan kepada radio-radio di Indonesia yang dianggap
potensial mengembangkan jurnalisme radio. Unesco dan Internews banyak
melibatkan ahli-ahli radio dari stasiun radio BBC Inggris. Tidak terkait
langsung dengan proses demokratisasi, The
Ford Foundation di Indonesia banyak memberi perhatian pada workshop radio
dan TV dengan fokus pengembangan seni tradisi Indonesia. Melalui isyu-isyu
kebudayaan dan kesenian, The Ford Foundation menyelenggarakan pusat produksi
siaran musik etnik dan kepustakaan musik
etnik yang komprehensif. Masih ada beberapa lembaga lainnya yang juga melakukan
pemberdayaan komunitas-komunitas untuk berinteraksi dengan media, melalui
workshop “Media Relation” yang kebanyakan mendapat dukungan dari United States Agency for International
Development – USAID. .
Radio-radio Indonesia sebenarnya saat
ini memperoleh tantangan untuk memperkuat proses demokratisasi di Indonesia
menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2004. Radio seharusnya dapat
mengambil peran yang lebih besar lagi memberikan pendidikan bagi para pemilih
seperti program “Voter education”. Radio juga dapat menyiapkan ketrampilan
partai politik dan juru kampanyenya melalui teknik komunikasi dan menyampaikan
informasi, melalui cara-cara berbicara di radio. Bahkan radio dapat memberikan
peluang lebih besar bagi partai-partai politik berkomunikasi dengan publik
secara luas. Inilah kesempatan radio menjadikan Pemilu 2004 dan proses
kampanyenya sebagai sarana belajar merancang program-program yang melatih
kemampuan masyarakat berperilaku lebih demokratis lagi. Apabila momentum ini tidak
dimanfaatkan, maka jangan harap radio akan memperoleh legitimasi masyarakat
sebagai lembaga komunikasi yang ampuh untuk mendidik masyarakat berdemokrasi.
REFERENSI
____________________________________________________________________________
1)
Pidato
Menteri Komunikasi dan Informasi pada saat meresmikan Sidang Paripurna Pusat
PRSSNI -
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia tahun 2003 di Balikpapan Kalimantan Timur
2) Berita
detikcom: 6 Asosiasi Penyiaran Ajukan Judicial
Review UU 32/2002, Rabu 23 Februari 2003,
Reporter
Suwarjono
3) www.kompas.com (16/12/02) SEBAGAIMANA diberitakan di
berbagai media massa,
walaupun
mendapatkan tentangan yang
keras dari berbagai pihak, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran pada akhirnya tetap disetujui untuk
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan DPR yang
diselenggarakan pada Kamis (28/11) yang lalu. Berkaitan dengan hal itu,
beberapa pihak mengusulkan agar UU yang telah disetujui tersebut diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan peninjauan atau review. Di samping
diajukan oleh kalangan aktivis penyiaran, usulan tersebut bahkan juga
disarankan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) di
DPR Roy BB Janis
4) Bunyi Pasal 8 ayat (1): KPI sebagai wujud
peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta
mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
5) Brosur Deklarasi Jaringan Radio Komunitas
Yogyakarta, Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio
Komunitas Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002
6) Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio Komunitas
Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002
7) Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio Komunitas
Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002
8) Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio Komunitas
Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002
9) Naskah Laporan Kegiatan Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani
tahun 2002
10) Informasi tatap muka dengan Surowo di Yogyakarta tanggal
28 Februari 2003
11) Informasi tatap muka dengan Yuzermin pimpinan Radio Harau
Megantara di Payakumbuh, Sumatra
Barat,
tanggal 10-13 September 2002, ketika memberikan pelatihan produksi jurnalisme
radio untuk program musik
etnik dengan sponsor The Ford Foundation
12) Catatan
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
dalam Cover CD “Seri Musik Indonesia”,
Penulis
Endo Suanda
13) Pernyataan Drs. Kresnayana Yahya MSc: hasil
penelitian lembaga Enciety Consult Surabaya
14) Informasi Departemen Teknik Radio Suara Surabaya
tahun 2002, berdasarkan informasi yang
diperoleh
dari PT Telkom Surabaya
15) Laporan
Kerja Manajer Siaran Radio Suara Surabaya bulan Februari 2003,
16) Catatan dalam cover CD Seri Musik Indonesia,
terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
17)
Data: Harian Bisnis Indonesia
18) Pernyataan PRSSNI Pusat
19) Data:
Tempo Interaktif
20) Berita
Harian Bisnis Indonesia
“Iklan radio diprediksi naik 7%”