Rabu, 28 Oktober 2015

KEKUATAN RADIO LOKAL MEMBANGUN DEMOKRASI DI INDONESIA DI TENGAH ARUS INFORMASI GLOBAL



_____________________________________________________________________________________________


§  ERA KEEMASAN RADIO KEMBALI LAGI
Masih kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, radio tiba-tiba berperan kembali menyiarkan berbagai peristiwa yang terkait dengan kerusuhan “Mei 1998”, termasuk hiruk pikuk demonstrasi mahasiswa dan rakyat Indonesia yang meruntuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto bersama-sama rezim Orde Baru nya. Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai radio pemerintah dan Radio Swasta sebagai radio komersial, saat itu seperti mendapat peluang untuk lepas dari kontrol dan sensor pemerintah, dengan menyiarkan peristiwa perlawanan masyarakat dan mahasiswa secara detil dan bebas. Kesempatan ini tidak pernah dialami media massa Indonesia selama kurang lebih 30 tahun.

Melalui kontrol Departemen Penerangan, pemerintah mempunyai rambu yang sangat ketat terhadap isi media massa agar tidak memberitakan sesuatu yang dianggap pemerintah berlawanan dengan kebijakan dan kemauan mereka. Media massa selama itu selalu khawatir terhadap kemungkinan dibreidel sewaktu-waktu apabila pemerintah tidak suka dengan pemberitaan yang dianggap mengganggu kredibilitas mereka.

Hal ini juga terjadi dengan radio yang sampai dengan tahun 2002 tidak mempunyai Undang Undang Penyiaran sama sekali. Radio hanya diatur dan dikendalikan dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1970, yang mengatur tentang tata cara penyelenggaraan radio serta tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya. Kekangan ini dilengkapi dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 226 Tahun 1984, yang intinya melarang radio non-RRI memproduksi dan menyiarkan acara Warta Berita. Untuk itu radio-radio non-RRI diwajibkan me-relay Warta Berita dari RRI sebanyak 14 kali dalam sehari, dengan durasi setiap Warta Berita tidak dapat diprediksi. Semuanya tergantung dari keinginan RRI termasuk instruksi Departemen Penerangan. Sangat umum, apabila presiden meresmikan sebuah proyek, radio non-RRI wajib merelai acara tersebut selama satu hingga dua jam. Bahkan ketika Rapat Kabinet selesai, sudah dapat dipastikan Menteri Penerangan akan berbicara kepada media-massa dalam acara “press conference” dengan durasi minimal satu jam.


Dapat dibayangkan, radio sangat sulit mengembangkan programnya sendiri, karena berkali-kali harus mengubah programnya akibat Warta Berita yang tidak pasti durasinya, termasuk kewajiban-kewajiban merelay acara dan pidato presiden atau wakil presiden.

Jangankan mengembangkan program beritanya,  untuk memastikan durasi acara hiburan dan musik di radio sendiri saja menjadi sangat sulit. Radio non-RRI nyaris tidak mampu mengembangkan fungsinya sebagai media informasi, kecuali hanya populer sebagai media hiburan yang hanya memutar lagu-lagu. Meskipun demikian, di masa sulit itu ada beberapa radio yang berani menyiarkan berita meski harus dikamuflase dengan istilah “informasi”. Bahkan beberapa radio menyiasati program pemberitaan mereka dengan apa yang diistilahkan sebagai “jurnalisme alternatif”. Seperti Talkshow, Reportase, Insert, Features dan informasi yang disajikan secara “adlib”.  

Sampai kemudian gerakan dan peristiwa politik bergejolak di tahun 1998 menggugah radio kembali menyiarkan banyak hal secara sangat terbuka, bahkan termasuk isyu yang selama itu dilarang pemerintah. Seperti menyiarkan gerakan demonstrasi, pendapat-pendapat tokoh oposisi pemerintah, termasuk suara masyarakat yang selama ini terpendam.  Memang tidak semua radio di Indonesia siap mengantisipasi perubahan dan peluang kebebasan informasi ini. Hanya radio-radio yang selama ini “mencuri-curi” kesempatan berjurnalisme dengan berbagai kamuflasenya sajalah yang langsung memanfaatkan peluang bagus ini, seperti peliputan "Kerusuhan Mei 1998” dan “Tragedi Trisakti”.  Mereka siap berjurnalisme karena lebih berpengalaman dan pola organisasi pemberitaannya sudah terbentuk secara sembunyi-sembunyi.

Sejak tahun 1998 radio siaran non-RRI, -khususnya radio komersial-, segera mengubah strategi dengan memproduksi sebanyak banyaknya program pemberitaan. Masyarakatpun memanfaatkan peluang ini dengan ikut mengembangkan konsep “jurnalisme interaktif”, yang memberi kesempatan masyarakat bukan sekedar sebagai penikmat informasi, tetapi juga sebagai sumber informasi dan perantara informasi. Situasi ini memberi peluang besar aktivitas “local journalism”. Kecenderungan masyarakat memanfaatkan radio sebagai sumber informasi tercepat semakin besar. Bahkan kegandrungan masyarakat beradio mendorong kelahiran radio-radio baru. Semangat beradio yang besar ini ternyata tidak diikuti dengan perubahan-perubahan regulasi penyiaran. Akibatnya, terjadi banyak kejadian yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran.


Misalnya radio yang berkategori “radio gelap”, karena bersiaran tanpa mendapatkan ijin menggunakan gelombang frekuensi.  Menghadapi pertumbuhan radio gelap yang makin marak, pemerintah ternyata tidak melakukan apapun sampai saat ini, meski Undang Undang Penyiaran sudah diberlakukan tahun 2002. Pemerintah saat ini dihadapkan pada kerumitan menghadapi sekitar 2000 radio yang dikategorikan “radio gelap” di seluruh Indonesia. 1)  Padahal jumlah radio siaran yang resmi (mendapat ijin penggunaan frekuensi) menurut data tahun 2002 mencapai 1209 stasiun. Jumlah ini belum termasuk 200 radio siaran yang masih dalam proses perizinan, menurut Departemen Penelitian dan Pengembangan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia-PRSSNI.

Kegandrungan inilah yang selanjutnya memberi inspirasi banyak pihak, seperti Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, kalangan praktisi penyiaran maupun asosiasi penyiaran, mengusulkan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera menyusun Undang Undang Penyiaran. Karena dunia penyiaran di Indonesia yang diyakini potensial menjadi instrumen proses demokratisasi masyarakat, memerlukan kepastian-kepastian dan jaminan hukum yang jelas. Agar fungsi dan peran radio membangun eksistensinya sebagai lembaga informasi dan komunikasi masyarakat secara terbuka, tidak mudah diombang-ambingkan kekuasaan pemerintah dan terus menerus mengalami interfensi berbagai pihak atas nama kepentingan kekuasaan. Undang Undang Penyiaran juga diperlukan untuk mengatasi ketidak terakomodasinya hak-hak publik memanfaatkan radio sebagai alat komunikasi dan ekspresi kebebasan berpendapat.

§  TARIK ULUR UNDANG UNDANG PENYIARAN
Gejolak dan keresahan masa depan dunia penyiaran radio dan TV di Indonesia akhirnya mereda ketika Undang Undang Penyiaran disahkan Dewan Perwakilan Rakyat 28 November 2002, yang kemudian menjadi UU NO. 32 Tentang Penyiaran. Keputusan ini bukan berarti Undang Undang Penyiaran dianggap telah berkualitas. Banyak pasal yang dianggap bertentangan dengan semangat atas hak-hak masyarakat berinformasi dan berpendapat dengan bebas.

Meski dianggap banyak kelemahan, fakta obyektif menunjukkan bahwa salah satu keputusan Undang Undang Penyiaran yang menggambarkan proses demokratisasi masyarakat, adalah keragaman media penyiaran radio yang dimungkinkan dilaksanakan di


Indonesia. Pasal 13 ayat (2) menyatakan: jasa penyiaran radio dan televisi diselenggarakan oleh:
a)    Lembaga Penyiaran Publik,
b)    Lembaga Penyiaran Swasta (Komersial),
c)    Lembaga Penyiaran Komunitas, dan
d)    Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Perbedaan mencolok antara Undang Undang Penyiaran dengan peraturan sebelumnya, bahwa Radio Pemerintah tidak diakomodasikan lagi di Undang Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002. Juga untuk pertama kali Radio Publik, Radio Komunitas dan Radio Berlangganan dimungkinkan beroperasi di Indonesia. Bagaimana nasib Radio Republik Indonesia sebagai Radio Pemerintah, yang di masa Orde Baru sangat terkenal sebagai “corong kekuasaan” pemerintah ? Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi, Radio Republik Indonesia mendapatkan predikat baru sebagai radio berkategori Radio Publik. Keputusan ini tentu saja baik bagi Radio Republik Indonesia yang sumber keuangannya selama ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah. Karena dana tersebut berasal dari pajak masyarakat. Dengan demikian tanggung jawab Radio Republik Indonesia sebagai Radio Publik lebih masuk akal, ketimbang menggunakan dana rakyat tetapi mengutamakan kepentingan penguasa.

Meski radio dan TV di Indonesia sudah mempunyai acuan peraturan yang jelas, kritik terhadap Undang Undang Penyiaran masih terus berlanjut. Protes dan ketidak puasan masih muncul dari dari berbagai pihak, diantaranya dari enam asosiasi penyiaran yang mengajukan “judicial review” terhadap UU 32/2002 tentang Penyiaran tersebut. Alasannya karena Undang Undang itu mengandung banyak konflik dengan UUD 45. “Untuk itu kita akan mengajukan uji materil,” tukas Todung Mulya Lubis selaku kuasa hukum di Hotel Crown Plaza jalan Gatot Subroto Jakarta Pusat, Rabu tanggal 26 Februari 2003. Turut hadir dalam acara ini 6 kepala asosiasi penyiaran. 2)  

Mereka adalah Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATSI), Persatuan Sulih Suara (PSS), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Komunitas Televisi (KT), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dijelaskan Todung Mulya Lubis, pasal-pasal dalam Undang Undang Penyiaran mengandung sikap otoriter dan bertentangan dengan semangat demokrasi. Banyak juga

perlakuan diskriminasi termasuk kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi yang dihambat. Keenam asosiasi itu selain mengajukan hak uji material, mereka juga melakukan permohonan penundaan berlakunya Undang Undang Penyiaran sebelum permohonan judicial review diputuskan. Karena banyak juga pasal-pasal yang diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 45 yang baru saja diamandemenkan.

Menurut pengacara Todung Mulya Lubis Undang Undang itu masih menganut paradigma otoriter karena masih melahirkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mempunyai kewenangan luar biasa, seperti dulu sewaktu ada Departemen Penerangan. Anjuran untuk melakukan “judicial review” bahkan sudah pernah dinyatakan Roy BB Janis Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) di Dewan Perwakilan Rakyat. 3) 

Yang menarik, posisi Undang Undang Penyiaran ternyata berkembang dalam posisi yang paradoksial.  Di satu sisi, ia dilahirkan sebagai bukti perwujudan kebebasan berinformasi dan berpendapat sebagai kelanjutan Reformasi politik di Indonesia sejak tahun 1998, ketika Presiden Suharto lengser sekaligus Rezim Orde Baru yang tumbang. Tetapi di sisi yang lain, keberadaan Undang Undang Penyiaran itu dianggap membelenggu semangat demokrasi. Karena beberapa pasal dianggap membatasi kebebasan informasi dan kebebasan pers.

Pasal-pasal dari Undang Undang Penyiaran yang dianggap bermasalah bagi radio adalah yang menyangkut isi siaran. Seperti pasal-39 tentang siaran berbahasa asing, pasal-40 tentang relai dan siaran bersama, pasal-41 tentang monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini, dan pasal 42 tentang kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal-pasal ini menurut Hinca IP Pandjaitan, SH, MH, pimpinan Indonesia Media Law and Policy Centre merupakan pasal-pasal karet, karena bersifat lentur, tidak tegas dan dapat mengundang multi persepsi.

Sebagai contoh Pasal-40 yang terdiri dari tiga ayat menyatakan, Ayat (1) : Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik lembaga penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri. Ayat (2) : Relai siaran yang digunakan sebagai acara tetap, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dibatasi. Ayat (3) Khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri, durasi, jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi. Ayat (4) Lembaga


penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain secara tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat nasional, internasional, dan/atau mata acara pilihan.

Pasal-42 sebagai contoh lainnya, tertulis: Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak dijelaskan maksud kalimat peraturan perundang-undangan yang berlaku itu menyangkut apa saja.

Soetojo Soekomihardjo, mantan Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Pusat mengatakan, perjuangan dunia penyiaran Indonesia masih panjang. Bukan hanya Undang Undang Penyiaran saja yang harus dikoreksi, tetapi yang lebih merepotkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sangat menentukan standar dunia penyiaran di Indonesia. Komisi Penyiaran Indonesia terdiri dari Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah yang dibentuk dalam tingkat provinsi.

Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia yang mendapat sorotan tajam adalah yang tercantum dalam Undang Undang Penyiaran Pasal-8. Pada ayat (2) tertulis: Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 4), Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai kewenangan:
a)    Menetapkan standar program siaran,
b)    Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran,
c)    Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran,
d)    Memberi sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran,
e)    Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

Yang mengkhawatirkan dunia penyiaran secara umum, apabila anggota-anggota yang akan menjabat di Komisi Penyiaran Indonesia tidak mempunyai kompetensi yang cukup untuk mengatur dunia penyiaran Indonesia dengan kewenangannya yang begitu besar seperti yang dijamin oleh Undang Undang Penyiaran. Apalagi seluruh anggota Komisi Penyiaran


Indonesia  nantinya akan dipilih dan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tingkat Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk tingkat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah. Sebagai langkah awal, Komisi Penyiaran Indonesia tingkat Pusat akan dibentuk oleh Pemerintah Pusat, sementara Komisi Penyiaran Indonesia Daerah akan ditentukan Pemerintah Daerah Provinsi. Dengan kualitas anggota DPR dan DPRD yang rendah seperti situasi saat ini, kualitas Komisi Penyiaran Indonesia seperti apa yang akan dihasilkan ? Dapatkah anda membayangkan, standarisasi penyiaran radio dan televisi seperti apa yang akan mereka buat ?

Dapat dikatakan, mayoritas kalangan eksekutif dan legislatif tidak mempunyai kompetensi tentang industri penyiaran radio dan televisi. Pemahaman tentang paradigma baru teknologi penyiaran yang seharusnya mereka ketahui, khususnya dalam konteks globalisasi, sangat meragukan. Wajar saja apabila enam asosiasi penyiaran di Indonesia mengajukan “judicial review” ke Mahkamah Agung. Karena Komisi Penyiaran Indonesia sudah harus terbentuk satu tahun setelah Undang Undang Penyiaran berlaku.

Situasi aplikasi Undang Undang Penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia seperti kata pepatah Indonesia, “membeli kucing dalam karung”. Tidak satupun kalangan penyiaran di Indonesia yang tahu apa warna kucing di dalam karung itu, berapa besarnya dan kelaminnya jantan atau betina. Tetapi situasi ini sangat berpeluang menghambat pertumbuhan radio dan televisi, apabila kebijakan-kebijakan yang diterapkan tidak berbasis pada prinsip dasar demokrasi yang seperti yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 45 – Pasal 28 ( f ) yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi atau memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Perjuangan dan penolakan terhadap usaha-usaha mengontrol kebebasan media massa Indonesia, seperti yang pernah dirasakan dalam rezim Orde Baru, dikhawatirkan akan terulang kembali. Sehingga perjuangan kebebasan informasi dan berpendapat yang telah dicapai setelah Reformasi terjadi di tahun 1998 akan terganggu kembali. 

§  GERAKAN RADIO KOMUNITAS DI INDONESIA
Di awal sudah dijelaskan jumlah radio yang tidak berijin di Indonesia yang menurut Menteri


Komunikasi dan Informasi sudah mencapai 2000 radio, termasuk diantaranya radio-radio berkategori Radio Komunitas. Tetapi tidak semua Radio Komunitas mengabaikan ijin. Karena beberapa Radio Komunitas berusaha untuk bersiaran sesuai prosedur, bahkan menggalang kekuatan bersama dengan mendirikan asosiasi untuk menegakkan peraturan. Yang paling terkenal di Indonesia saat ini Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY).  Lembaga ini diresmikan tanggal 6 Mei 2002 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta melalui sebuah deklarasi. Tercatat dalam deklarasi tersebut 30 radio komunitas dan 23 Lembaga Swadaya Masyarakat yang semuanya berada di Yogyakarta, menjadi anggota Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta. Alamat sekretariat mereka di jl. Ngadisuryan 26-B Yogyakarta 55133, telpon dan fax: 0274-418.929, e-mail address: radio4all@telkom.net. 

Deklarasi itu berbunyi: “Dengan menyatukan hati nurani, rasa kebersamaan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, serta kebebasan atas informasi, kami: radio-radio komunitas di Yogyakarta beserta jaringan pendukungnya, dengan ini mendeklarasikan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta. Jaringan ini kami deklarasikan sebagai wadah bersama untuk memperjuangkan keberadaan radio komunitas dalam rangka membangun keberdayaan komunitas menuju bangsa yang cerdas dan sejahtera. Semoga Tuhan yang maha Esa melindungi perjuangan ini. Amin5) Selain deklarasi, Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta juga menyuarakan motto: “Karena langit ini milik bersama, maka kita juga berhak menggunakannya. Tolak monopoli frekuensi ! Radio 4 All !

Karena Undang Undang Penyiaran pada saat itu belum disahkan, termasuk belum ada kepastian bahwa Radio Komunitas diijinkan mengudara di Indonesia, tanggal 10 Juni 2002 Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta mengajukan pernyataan tentang penggunaan gelombang dan frekuensi siaran kepada pemerintah. Isi pernyataan tersebut adalah: 6)
a)    Akan memperhatikan penggunaan daya pemancar anggota Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta sehingga tidak lebih dari 100 watt.
b)    Menjamin penggunaan frekuensi yang terkunci dari anggota Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta untuk menjamin kualitas teknis siaran.
c)    Bersedia menggunakan frekuensi atau kanal kosong yang tersedia sesuai dengan lebar pita frekuensi uang diijinkan. Apabila kemudian frekuensi tersebut akan digunakan oleh stasion radio komersial, maka Radio Komunitas yang bersangkutan bersedia menggunakan frekuensi lain yang kosong.

d)    Untuk tetap menjamin kualitas teknik siaran, Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta melakukan kerjasama dengan tim ahli atau pihak lain yang kompeten.

Sebagai kelanjutan dari pernyataan tersebut, tanggal 18 Juni 2002 dicapai kesepakatan antara Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta dengan Dinas Perhubungan Yogyakarta yang mengatur penggunaan frekuensi radio broadcasting. Kesepakatan tersebut meliputi: 7)
  1. Loka monitoring akan menutup mata terhadap penggunaan frekuensi oleh Radio Komunitas.
  2. Radio Komunitas dilarang berfungsi seperti radio amatir.
  3. Radio Komunitas dilarang melakukan “co-channel” dengan frekuensi yang sudah digunakan oleh Radio Komersial. Tetapi jika Radio Komersial berlokasi lebih dari 25 kilometer (berkaitan dengan daya pancar radio komersial tersebut), maka frekuensi tersebut bisa dipakai Radio Komunitas.
  4. Radio Komunitas boleh menggunakan frekuensi yang sudah mereka gunakan saat ini.

Tanggal 27 dan 28 Juli 2002 Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta menyelenggarakan Jambore di Yogyakarta untuk mempertegas eksistensi mereka melalui pembahasan Anggaran Dasar dan Kode Etik. Selain itu dalam acara ini Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta melakukan pemilihan ketua dan menyusun pengurus lembaga ini. Salah satu keputusan  penting adalah keberhasilan menyusun Kode Etik Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta 8). 

Isi Kode Etik tersebut :
  1. Radio Komunitas tumbuh dan berkembang atas keinginan, kebutuhan komunitasnya.
  2. Terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan pada komunitasnya.
  3. Mandiri dan tidak mengutamakan laba.
  4. Mencerdaskan dan memberdayakan warga komunitas.
  5. Lebih mengutamakan pengembangan nilai-nilai dan ilmu pengetahuan lokal.
  6. Menjadi perekat antar etnis, status sosial, agama maupun budaya.
  7. Menjunjung tinggi demokrasi dan Hak Asasi Manusia berkeadilan gender.
  8. Mengacu pada azas jurnalistik yang bebas dan bertanggung jawab.

Perkembangan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta tergolong menarik. Karena baru di kota inilah asosiasi Radio Komunitas tumbuh dengan cepat serta melakukan aktivitas yang

menunjukkan dinamika semangat mendirikan Radio Komunitas. Bahkan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta bersama-sama Forum Pengembangan Media Komunitas (FPMK) tahun 2003 mengajukan proposal kepada Gubernur Yogyakarta berupa “Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” tentang “Lembaga Penyiaran Komunitas”.  Tetapi di sisi yang lain, kesepakatan antara Dinas Perhubungan Yogyakarta dengan Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta yang mengijinkan Radio Komunitas menggunakan frekuensi radio, menunjukkan ketidaksinkronan pengaturan frekuensi radio yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah Yogyakarta. Karena itu saat ini populasi radio broadcasting di Yogyakarta tergolong besar akibat dinamika Radio Komunitas yang berkembang pesat.

Meski tidak didukung data yang akurat, penulis yakin pertumbuhan Radio Komunitas juga tumbuh subur di seluruh wilayah Indonesia, meski pengaturannya tidak sebaik di Yogyakarta. Bahkan sebagian besar tidak mempunyai pengetahuan yang cukup, bahwa untuk mendirikan sebuah radio memerlukan ijin dari pemerintah untuk menggunakan frekuensi, khususnya ijin penggunaan frekuensi dan gelombang siaran. Terdapat pemahaman yang salah, bahwa untuk menyelenggarakan siaran Radio Komunitas boleh menggunakan frekuensi siaran dengan sesuka hati. Seakan-akan atas nama komunitas dan kepentingan masyarakat, maka setiap orang boleh saja menyelenggarakan siaran tanpa persyaratan apapun.

Tentu saja dinamika semangat komunitas-komunitas menyuarakan kepentingan mereka tidak dapat diabaikan. Karena berdasarkan pengalaman selama ini Radio Republik Indonesia dan Radio Swasta (Komersial) tidak secara penuh menyuarakan berbagai kepentingan komunitas. Seperti isyu kesenian, kebudayaan, tradisi masyarakat, bahasa daerah dan isyu-isyu yang ruang geraknya hanya sebatas komunitas itu. Radio Republik Indonesia selama ini menggunakan pola siaran “top down”, yaitu lebih berkonsentrasi pada informasi pemerintah tanpa mengutamakan informasi masyarakat yang bersifat “bottom up”. Sedangkan Radio Swasta (Komersial) selama ini berkonsentrasi pada kepentingan bisnis. Karena itu mereka lebih banyak menyiarkan acara-acara yang mempunyai pengaruh terhadap “program rating”  agar memperoleh iklan. Karenanya  Undang Undang Penyiaran yang mengakomodasikan Radio Komunitas dan Radio Publik, merupakan solusi kongkrit terhadap kepentingan masyarakat untuk membangun demokrasi dan menyediakan peluang masyarakat  berkomunikasi lebih bebas dan lebih terbuka.


§  STUDI KASUS RADIO KOMUNITAS BALAI BUDAYA MINOMARTANI YOGYAKARTA 9)
Untuk membuktikan alasan bahwa Radio Komunitas perlu segera diakomodasikan kepentingannya dan haknya untuk bersiaran,  Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani Yogyakarta mengambil inisiatif untuk segera “on air”.  Secara historis Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani berusaha untuk bersiaran sejak tahun 1995. Menurut Surowo, salah seorang pengurus Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani, perintis radio ini dianataranya adalah Romo Ruedi Hofmann seorang biarawan Katolik yang aktif mendirikan Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta. Keinginan ini karena terinspirasi “Radio Latacunga” di Amerika Latin, dengan tujuan mengangkat suara masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan bersuara (voice to the voiceless), serta memediakan orang yang tidak mempunyai media (media of the medialess).

Antara tahun 1999-2000 Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani mendapat teguran dari lembaga monitoring radio karena bersiaran tanpa ijin resmi. Karenanya tahun 2000 radio ini berhenti bersiaran sama sekali. Tanggal 10 Juni 2002 Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani mengajukan Ijin Siaran Sementara dan bersiaran di frekuensi 97.5 FM. Tetapi penggunaan frekuensi ini kembali bermasalah, karena siaran Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani mengganggu saluran komunikasi penerbangan di bandar udara Yogyakarta. Sehingga radio ini harus pindah ke frekuensi 107.9 FM sampai saat ini. 

Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani merupakan radio yang unik, karena berlokasi di sebuah Balai Budaya di kawasan bernama Minomartani, Kabupaten Sleman, tidak jauh dari kota Yogyakarta. Studio radio ini sebenarnya merupakan sebuah gedung tempat masyarakat di kawasan Minomartani melakukan aktivitas kesenian. Bersiaran selama 6 jam sehari, Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani menetapkan Visi sebagai “The Radio that encounters”. Yaitu mempertemukan siapapun, orang kaya dan miskin, berbagai agama dan budaya sehingga akan tercipta kedamaian, keharmonisan, kesetiakawanan, kepedulian untuk pertumbuhan mutu kehidupan. Radio hanyalah alat untuk berinteraksi, berkomunikasi dan edukasi. Sedangkan Misinya: “Memediakan orang yang tidak punya media”.

Berbagai macam siaran diselenggarakan Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani. Ada diskusi dan talkshow, juga siaran musik etnik Indonesia, serta penampilan kelompok musik tradisional Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah lainnya di Balai Budaya Minomartani yang disiarkan langsung melalui radio.


Bukan hanya orang dewasa saja yang bersiaran, tetapi juga anak-anak memperoleh kesempatan untuk bersiaran. Bahkan Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani juga berhasil menggagalkan pencurian sapi. Menurut cerita Surowo, ketika itu ada warga desa yang melaporkan ke Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani, bahwa sapinya dicuri orang. Akibat siaran radio ini, warga desa lainnya kemudian bersama-sama mencari sapi tersebut dan pencurinya. Kejaran warga ternyata membuat pencuri lari dan meninggalkan sapi curiannya.10)  Peristiwa ini menggembirakan komunitas Minomartani, karena radio mereka telah membuktikan manfaat yang besar dan sudah seharusnya memperoleh prioritas ijin bersiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia nantinya.

§  RADIO HARAU MEGANTARA MEMBERDAYAKAN KESENIAN LOKAL 11)
Kekuatan radio mengembangkan hak-hak masyarakat sebagai bagian demokratisasi, terjadi di Radio Harau Megantara yang berlokasi di kota Payakumbuh, kurang lebih 3 jam perjalanan dengan mobil dari kota Padang, ibukota Sumatra Barat.

Radio Harau Megantara merupakan Radio Komersial yang saat ini telah menjadi “icon” radio dengan format kesenian. Khususnya kesenian tradisional masyarakat Sumatra Barat yang disebut sebagai budaya Minang. Radio ini menggunakan bahasa pengantar Minang, dimana penyiarnya bersiaran dengan bercakap-cakap dalam bahasa Minang. Sementara jenis musik yang mereka perdengarkan dikenal dengan sebutan “Pop Minang”. Radio Harau Megantara berkonsentrasi pada kebudayaan tradisional Minang setelah Yuzermin sebagai pemilik radio tersebut mengikuti “Pelatihan Produksi Siaran Musik Etnik” yang diselenggarakan The Ford Foundation tahun 1997 di Yogyakarta. Sebelum tahun 1997 Radio Harau Megantara sama seperti kebanyakan radio hiburan di Indonesia yang memperdengarkan berbagai jenis musik, untuk menghibur berbagai lapisan masyarakat yang seleranya bermacam-macam. Setelah mengikuti pelatihan dan menemukan fakta bahwa salah satu kesenian tradisi Minang yang disebut “Saluang Dendang” berada dalam keadaan kritis, karena semakin sedikit peminatnya, Yuzermin memutuskan untuk mengubah Radio Harau Megantara menjadi radio yang berpihak pada pengembangan seni tradisional Minang.

Penyiaran musik etnik yang dilaksanakan Yuzermin di Radio Harau Megantara relatif berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan. Dari dialog dan kunjungan penulis ke radio Harau Megantara ditemukan fakta bahwa radio ini telah menjadi “icon” penyiaran seni tradisi

Minang di wilayah Payakumbuh hingga Bukittinggi dan perbatasan provinsi lain yaitu Riau. Keberadaan mereka telah menunjukkan peran sebagai pengembang, pemberdaya dan memberi inspirasi pada pertumbuhan seni tradisi Minang. Pelaksanaan kegiatan “on-air” dan “off-air” berjalan harmonis menuju satu visi yang sama. Yaitu visi media massa yang menjadi milik khalayak Minang.

Semangat kerjasama antara Radio Harau Megantara dengan komunitas seniman, musisi dan stakeholder kebudayaan Minang terjalin bagus. Pendekatan manajemen, aplikasi praktis dan usaha penggalangan massa pendengar berjalan mulus. Pendekatan dengan pemerintah daerah dan unsur birokrasi juga tidak bermasalah. Sehingga Radio Harau Megantara berhasil menciptakan jaringan tradisi Minang secara luas dan memperkuat “positioning” nya sebagai radio Minang terpenting di Sumatra Barat. Hal ini terlihat dari partisipasi pendengar terhadap siaran dan keterlibatan mereka pada program “off-air”.

Untuk mengukur kadar keberhasilan siaran musik etnik Minang Radio Harau Megantara, penulis mewawancarai Safrul - Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten 50 Kota. Yang bersangkutan juga tercatat sebagai aktivis Dewan Kesenian bernama Luak Limo Puluah, yang menangani pengembangan dan aktivitas kesenian di wilayah tersebut. Resume yang disampaikan Safrul tentang bidang kerja dan kegiatannya secara garis besar sebagai berikut:
-     Sebagai pejabat yang bertanggung jawab terhadap perkembangan kesenian dan kebudayaan, yang bersangkutan menangani 3 wilayah: Bukittinggi, Batu Sangkar dan Payakumbuh
-     Saat ini di Payakumbuh tercatat ragam dan jumlah kelompok kesenian yang terdiri dari :
a)    64 pedendang Saluang Dendang,
b)    40 peniup Saluang,
c)    15 kelompok Talempong,
d)    10 kelompok Randai dan
e)    500 seniman lainnya yang hidup dari seni tradisi
-     3 bulan sekali mengadakan tatap muka dengan para seniman tradisi
-     Sering mengadakan silaturahmi dengan menghadiri pementasan-pementasan seni tradisi di berbagai tempat dan kesempatan, seperti di Radio Harau Megantara.


Paparan angka, data dan kondisi tersebut menurut Safrul disebabkan oleh Radio Harau Megantara. Sebelum Radio Harau Megantara mengerucutkan format siarannya total Minang, data dan jumlah kelompok kesenian di Payakumbuh hanya 50 proses dari jumlah sekarang. Hanya dalam beberapa tahun saja jumlah kelompok kesenian meningkat seratus prosen karena dorongan siaran-siaran Radio Harau Megantara, juga kesempatan para seniman mengaktualisasikan diri dan mengekspresikan musik mereka di Radio Harau Megantara. Setiap hari Rabu malam para seniman musik “Saluang Dendang” berkesempatan menampilkan musik mereka secara “live”, yang disiarkan langsung Radio Harau Megantara. Selain itu mereka juga ditonton masyarakat yang secara khusus datang ke radio untuk menikmati pertunjukan tersebut.    

Perkembangan positip kegiatan Yuzermin dan Radio Harau Megantara bukan saja berhasil mendapatkan pendengar yang besar, tetapi secara bisnis Radio Harau Megantara berjalan baik karena program siarannya berhasil mendatangkan iklan. Pertengahan tahun 2002 ia mendirikan lagi sebuah radio baru bernama Radio Jam Gadang di kota Bukittinggi, yang jaraknya sekitar 33 kilometer dari Payakumbuh.

Untuk menghindari “pertempuran” merebut pendengar dan iklan antara Radio Jam Gadang dengan Radio Harau Megantara, Yuzermin mengarahkan Radio Jam Gadang fokus pada subkultur Minang yang dikenal sebagai budaya Kurai. Seluruh penyiar Radio Jam Gadang wajib berbahasa daerah Kurai, sementara musik yang diputar Tradisi hingga Pop Minang, sama seperti yang diperdengarkan Radio Harau Megantara. Hanya dalam 4 bulan Radio Jam Gadang sudah menunjukkan peningkatan bisnis iklannya dengan sangat signifikan, menyamai Radio Harau Megantara

Selain itu sejak tahun 1998,  radio Harau Megantara mengadakan festival musik Saluang dan musik Pop Minang. Istilahnya radio Harau Megantara mengadakan pesta besar 7 hari 7 malam. Pada siang hari festival menyelenggarakan “Festival Penyanyi Minang” yang setiap tahun rata-rata mencapai 200 peserta. Malam harinya diadakan “Festival Musik Saluang Dendang”.

§  RADIO SUARA SURABAYA DIJULUKI PARLEMEN TANDINGAN
Radio Suara Surabaya yang bersiaran di FM 100.55 saat ini tercatat sebagai radio “interactive” yang terkemuka di Indonesia.


Format siarannya memberi peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk memberikan informasi secara “on air” atau memberi peluang masyarakat menyampaikan opini tentang banyak persoalan di lingkungan mereka. Banyak julukan yang diberikan untuk Radio Suara Surabaya. Di antaranya “radio lalu lintas”, “radio tempat orang komplain”, “radio ala Lembaga Swadaya Masyarakat”, bahkan ada yang menyebut “parlemen tandingan”. Khusus julukan “parlemen tandingan” karena banyak persoalan kota yang seharusnya diselesaikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Pemerintah Kota, baru bisa diselesaikan setelah mengudara di Radio Suara Surabaya. Mulai dari masalah pelayanan pemerintah kota, ketidak beresan fasilitas umum seperti , sarana kelalu lintasan, air bersih, listrik dan telpon. Bahkan Radio Suara Surabaya juga dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat saling memberi pertolongan dan informasi. Hal-hal yang dapat dikatakan monumental akibat siaran “interactive” adalah keikut sertaan masyarakat mengatasi persoalan kejahatan di Surabaya, misalnya perampokan dan pencurian mobil. Sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2002 Radio Suara Surabaya melalui siarannya dan juga partisipasi masyarakat berhasil menggagalkan 7 perampokan mobil. Modusnya para korban pencurian itu biasanya melaporkan secara langsung di Radio Suara Surabaya bahwa mobil mereka dicuri, sambil memberikan identitas mobil tersebut.

Pendengar, khususnya yang sedang mengendarai mobil, yang mendengarkan informasi tersebut langsung memberikan perhatian dan mengamati apakah mereka berpapasan dengan kendaraan yang sedang dicuri tersebut.  Biasanya yang menemukan mobil yang dicuri tersebut para pendengar yang kemudian melaporkannya ke Radio Suara Surabaya secara “live”, sehingga memudahkan polisi menangkap pencuri tersebut. Peristiwa penting lainnya adalah pemberhentian Walikota Surabaya Soenarto Soemoprawiro oleh Dewan Perwakilan Rakyat Surabaya di tahun 2001, yang sedikit banyak juga dipengaruhi oleh opini pendengar Radio Suara Surabaya yang menyatakan ketidak mampuan walikota tersebut mengatasi berbagai masalah kota, melalui pernyataan dan pendapat mereka yang sangat kritis.  

Sebelum menjadi radio yang populer karena mempelopori siaran “interactive”, Radio Suara Surabaya tercatat sebagai radio berformat “News and Talk” yang pertama di Jawa Timur.  Sejak tahun 1983 Radio Suara Surabaya telah mengembangkan konsep jurnalisme radio, khususnya “local journalism” di tengah dominasi kewajiban merelay siaran Radio Republik Indonesia.


Bahkan ketika pemerintah memberi larangan radio komersial membuat berita, Radio Suara Surabaya tetap jalan terus dan memproduksi materi pemberitaan sesuai dengan Visinya. Anehnya pemerintah dalam hal ini Departemen Penerangan justru tidak keberatan ketika Radio Suara Surabaya menyatakan tidak pernah membuat “berita” kecuali  “informasi”. Padahal bagi Radio Suara Surabaya tidak ada perbedaan substansi antara “berita” dan “informasi”. Selain larangan untuk membuat berita, beberapa kali Radio Suara Surabaya mendapat telpon dari aparat keamanan untuk tidak memberitakan sebuah peristiwa. Karena suasana represif saat itu, Radio Suara Surabaya harus tunduk pada larangan-larangan itu. Masa-masa sulit itu dianggap sebagai fase Radio Suara Surabaya memantapkan kedudukannya sebagai radio yang pemberitaannya mulai diperhitungkan masyarakat. Masa ini juga menjadi proses Radio Suara Surabaya belajar tentang “radio journalism” untuk kemudian berkembang sebagai radio informasi yang berpengaruh di Surabaya khususnya.

Peran Radio Suara Surabaya sebagai tempat masyarakat berlajar berdemokrasi semakin tampak di tahun 1994, melalui program “interactive”. Radio Suara Surabaya sekali lagi menjadi pelopor dengan memberikan kesempatan masyarakat memberikan pendapat dan informasi secara “live” di radio melalui telpon. Saat itu juga bersamaan dengan perkembangan telpon seluler di Indonesia, sehingga masyarakat Surabaya mulai banyak berbicara di radio secara lebih bebas.

Para pengguna telpon seluler juga mulai banyak melaporkan situasi lalu lintas ke Radio Suara Surabaya. Pendengar lainnya melalui telpon di rumah (fixed line) menelpon untuk memberikan pendapat atau melaporkan hal-hal kritis tentang kota Surabaya.  Dalam waktu singkat program ini mendapat respon luas bukan saja dari masyarakat, tetapi juga dari aparat pemerintah, polisi dan parlemen. Mereka melihat peluang berdialog dan berkomunikasi di radio secara terbuka dan transparan. Partisipasi masyarakat menjadi besar karena Radio Suara Surabaya menerapkan filosofi siaran: “News, Interaktif dan Solutif”. Kata pentingnya ada pada “solutif”, bahwa setiap siaran Radio Suara Surabaya harus dapat memberikan solusi terhadap berbagai hal yang menjadi kebutuhan masyarakat. Sikap kritis terhadap persoalan apapun dan kepada siapapun bukan berarti mengadili mereka. Siaran Radio Suara Surabaya tidak dibenarkan menjadi tempat untuk mengadili seseorang. Tetapi harus menjadi tempat masyarakat memperoleh solusi sekaligus juga menjadi tempat orang memberikan solusi sebagai bagian partisipasi mereka. 



Secara nyata perkembangan pendengar Radio Suara Surabaya berkembang pesat, khususnya untuk segmentasi masyarakat kelas Menengah dan kelas Atas. Bahkan sejak tahun 1998 Radio Suara Surabaya menjadi radio yang memiliki pendengar terbanyak di kelasnya. Yaitu pendengar dewasa dalam umur (25-50 tahun), rata-rata berpendidikan perguruan tinggi, berpenghasilan kelas Menengah dan kelas Atas dengan pola belanja dalam rumah tangga mereka rata-rata minimal Rp. 1 juta per-bulan. Menurut lembaga penelitian AC Nielsen atau Nielsen Media Research, jumlah pendengar Radio Suara Surabaya mencapai  sekitar 1,4 juta pendengar di kawasan Surabaya dan “Greater Area” 12) Selain itu perilaku pendengar Radio Suara Surabaya menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap persoalan yang terjadi di lingkungan mereka. Bahkan penelitian yang lain menyebutkan jumlah pendengar Radio Suara Surabaya, khususnya untuk acara di pagi hari mencapai 6 juta pendengar di sebagian wilayah  di Jawa Timur. 13)

Pada tahun 2000 Radio Suara Surabaya mengadakan aktualisasi pernyataan Visi dan Misi nya. Pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab Radio Suara Surabaya terlihat dari Visinya yang berbunyi: Suara Surabaya adalah media massa sumber pemberdayaan dan kegiatan demokratisasi masyarakat, melalui usaha kegiatan media massa, yang mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi

Makna “pemberdayaan masyarakat” dan “demokratisasi masyarakat” berkait erat dengan pemahaman dan keberpihakan pada pluralisme. Pemberdayaan bermakna usaha-usaha meningkatkan kualitas khalayak pendengar. Sementara demokratisasi bermakna kemampuan khalayak pendengar menerima perbedaan, bahkan keterbukaan terhadap hal-hal yang beragam dan berlawanan. Target akhir yang harus dicapai Radio Suara Surabaya secara umum, khalayak pendengar mampu mengapresiasi perbedaan dan keragaman sebagai realita secara harmonis dan dewasa. Perbedaan harus dipandang sebagai aset dan kekayaan kehidupan dan anugerah, sehingga perbedaan seharusnya bukan sumber konflik dan perpecahan.  Itulah sesungguhnya makna demokrasi.

Secara kuantitatif pertumbuhan penelpon dan peserta “interactive” meningkat dari tahun ke tahun. Terutama setelah Radio Suara Surabaya bersiaran selama 24 jam per-hari sejak tanggal 10 November 2001, setelah sebelumnya bersiaran hanya 20 jam per-hari. Menurut laporan Kantor Telpon di Surabaya, akibat banyak pendengar yang ingin menelpon ke Radio Suara Surabaya, menyebabkan tingkat gagal pendengar untuk menelpon ke saluran

telpon yang dapat menampung pendengar yang ingin mengikuti program “interactive” setiap hari, rata-rata mencapai 86% 14). Artinya hanya 14% dari seluruh pendengar yang berminat berbicara di Radio Suara Surabaya memperoleh kesempatan menyampaikan informasi dan opini mereka, atau rata-rata sekitar 9.500 penelpon setiap bulannya. 15)

Untuk mengatasi tingkat gagal telpon yang tinggi tersebut, Radio Suara Surabaya sejak tahun 2002 memberikan fasilitas alternatif berupa saluran “Short Message Service-SMS”. Meskipun dalam kenyataannya bahwa tingkat gagal menelpon tidak otomatis terkurangi. Tingkat penelpon yang tinggi di Radio Suara Surabaya disebabkan pola programmingnya memberikan peluang penelpon lebih banyak untuk “on air”, karena Radio Suara Surabaya tidak menganut konsep “blocking program”. Dengan demikian penelpon dapat “on air” sewaktu-waktu. Bahkan di tengah acara talkshow, pendengar dapat melaporkan peristiwa-peristiwa yang dianggap penting. Seperti kebakaran, kecelakaan lalu lintas, pencurian dan sebagainya.  Kecenderungan penelpon meningkat, termasuk juga jumlah pendengar, terjadi setelah Reformasi melanda Indonesia tahun 1998, yang membuat masyarakat merasa mempunyai kebebasan untuk berbicara lebih terbuka tentang apa saja. Akibatnya dari beberapa laporan masyarakat yang penulis terima, beberapa institusi pelayanan publik di Surabaya mewajibkan para karyawannya mendengarkan Radio Suara Surabaya setiap hari untuk mengantisipasi apabila institusi mereka mendapat kritik dari masyarakat. Di antaranya Kepolisian di Surabaya dan Jawa Timur, Kantor Hubungan Masyarakat serta beberapa instansi yang berada di lingkungan Pemerintah Kota, Perusahaan Listrik Negara di Surabaya, Perusahaan Daerah Air Minum di Surabaya dan institusi sejenis lainnya.

Untuk perannya itu Radio Suara Surabaya beberapa kali mendapat penghargaan. Tahun 1993 Gubernur Jawa Timur memberikan penghargaan karena peran serta memberikan informasi tentang Jawa Timur ke masyarakat. Tahun 1994 Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan sebagai radio dengan kriteria pengelolaan terbaik di Indonesia. Tahun 1999 Kepolisian Kota Surabaya dan Kepolisian Jawa Timur memberikan 2 penghargaan karena Radio Suara Surabaya mampu membangun kesadaran masyarakat berpartisipasi mengatasi pertumbuhan kejahatan di Surabaya dan jawa Timur. Tahun 2000 Menteri Perhubungan juga memberikan penghargaan karena peranan Radio Suara Surabaya yang mengkritisi kinerja PT. Telkom sehingga mereka dapat meningkatkan pelayanannya menjadi lebih baik. Tetapi bagi Radio Suara Surabaya yang lebih penting bukan penghargaan-penghargaan ini, melainkan keberhasilannya menggerakkan

masyarakat memberikan partisipasi mereka untuk berbicara dan berpendapat secara bebas namun konstruktif. Radio Suara Surabaya juga menunjukkan keberhasilannya mendidik masyarakat untuk berbicara tentang hak-hak publik sekaligus memberikan solusi kongkrit terhadap berbagai persoalan kota Surabaya. 

Perkembangan terakhir, Radio Suara Surabaya sejak tahun 2002 berhasil mengembangkan Suara Surabaya Media. Karena saat ini Radio Suara Surabaya telah mampu melahirkan website Suara Surabaya Net, majalah Mossaik dan tahun ini juga akan lahir radio baru yang dikelola Suara Surabaya Media. 

§  OTONOMI DAERAH MENJAGA PERAN DEMOKRATISASI RADIO TETAP KUAT
Dorongan terhadap demokratisasi juga ditandai oleh kelahiran Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Untuk pertama kali juga daerah-daerah di Indonesia mempunyai peran dan dapat memaksimalkan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat. Eksistensi ini tidak pernah dirasakan daerah-daerah di Indonesia karena segala sesuatu terpusat di Jakarta. Keuntungan lain dari Otonomi Daerah menyangkut pengelolaan dana  yang sebagian besar dapat langsung dikelola daerah setempat. Tidak lagi seluruhnya harus dikirim ke Jakarta dan menunggu pembagian dari Jakarta. 

Prinsip-prinsip dasar Otonomi Daerah dapat diamati dari referensi-referensi berikut ini:
  1. Menimbang butir (b):
Bahwa dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

  1. Menimbang butir (c):
Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 


  1. Penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah:
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian Otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Bertitik tolak dari Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, menunjukkan posisi radio yang sangat penting sebagai media komunikasi dan sosialisasi Otonomi Daerah. Terutama yang menyangkut keterlibatan Radio menyebarluaskan pokok-pokok pikiran mengenai:
a)    Prinsip-prinsip demokrasi,
b)    Peran serta masyarakat.
c)    Pemerataan dan Keadilan,
d)    Memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah,
e)    Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, dan
f)     Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan.

Radio siaran secara fisik bukan penyelenggara otonomi daerah, dan tidak mungkin mengambil alih peran dan kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Peran radio lebih pada kegiatan “mediasi, fasilitasi dan moderasi”. Percepatan sosialisasi, pemahaman dan pemberdayaan otonomi daerah harus gayung bersambut. Keterbukaan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota menjadi kunci produktivitas pemahaman Otonomi Daerah.

Pertanyaan utamanya: konsep komunikasi seperti apa yang sudah dirancang Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, khususnya komunikasi internal jajaran Pemerintah Daerah dan komunikasi eksternal kepada masyarakat termasuk radio. Dari sisi yang berbeda, Intensitas komunikasi seperti apa yang telah dirancang radio dan bangunan kanal-kanal informasi seperti apa yang memudahkan arus informasi dari masyarakat dan untuk masyarakat melalui siaran radio.

 

Dalam semangat Otonomi Daerah, Radio Siaran tidak lagi pantas hanya sebagai koridor komunikasi. Karena Radio Siaran berhak memposisikan dirinya sebagai media yang berinisiatif mengalirkan isyu-isyu Otonomi Daerah, sekaligus sebagai alun-alun pertemuan ragam informasi yang dikelola untuk mencapai target solusi dan kesejahteraan Masyarakat. Masalahnya, posisi ini bukan hak, tetapi inisiatif radio untuk menempatkan dirinya dalam peran-peran tersebut.


Prinsip-prinsip Otonomi Daerah sangat dekat dengan realita multikultur yang luar biasa beragamnya di Indonesia. Karena Indonesia mempunyai 13.000 pulau yang dihuni masyarakat dari sekitar 300 etnisitas yang berbeda.16) Gagasan radio siaran sebagai medium yang diangan-angankan menjadi representasi konsep multikultur bukan sesuatu yang baru atau berlebihan. Hal ini juga paralel dengan misi yang harus diemban radio yang berformat apapun. Kembali mengacu pada Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 sangat jelas semangat multikultur yang harus mendasari siaran radio, terutama dalam pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Menimbang (butir-c)
Bahwa untuk menjaga integritas nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menimbang (butir-d)
Bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial.

Pasal-5 ( j )
Penyiaran diarahkan untuk: memajukan kebudayaan nasional

Berdasarkan pengalaman, aplikasi konsep multikultur di radio siaran mudah diterapkan, apabila pemahaman ideologi multikultur telah dirumuskan dan disepakati unsur manajemen dan pelaksana radio tersebut. Karenanya sebagai langkah awal, penulis akan merumuskan

lebih dulu sudut pandang makna multikultur sebelum menawarkan cara praktikumnya. Sedikitnya konsep multikultur bisa ditinjau dari sudut pandang: Etnisitas, Ideologi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), “Frame of References” dan lainnya. Multikultur dalam persepsi penulis adalah “Pluralisme”. Yaitu keberagaman dalam makna yang luas.

Pertimbangannya:
a.    Frekuensi siaran yang digunakan seluruh radio merupakan “ranah publik” (public sphere). Dengan demikian secara ideal seluruh unsur publik berhak memperoleh manfaat tanpa diskriminasi.
b.    Radio siaran berkarakter media massa, dengan demikian dia menjadi “representasi” khalayak pendengar. Basisnya adalah kepentingan pendengar bukan kepentingan dan selera manajemen radio semata-mata.
c.    Keterbatasan frekuensi untuk radio siaran menyebabkan keinginan banyak orang membangun radio siaran juga terbatas. Bisa dipastikan keinginan kelompok masyarakat bersiaran radio tidak tersalurkan seluruhnya. Dengan demikian radio yang memperoleh hak mengelola frekuensi dan gelombang dituntut mengakomodasikan kepentingan-kepentingan tersebut.

 

Terlepas dari seluruh persyaratan teknis, multikultur akan terapresiasi dengan baik di radio apabila konsep multikultur tidak dijadikan sebagai tujuan secara semata-mata. Membangun etos multikultur di dalam kinerja radio jauh lebih penting. “Tersirat” jauh lebih penting dari yang “tersurat”. Bagi penulis multikultur adalah “jiwa”, “semangat” dan “cara hidup”. Bila penyiar dan jurnalis radio masih dikungkung semangat monokultur, aturan apapun tentang multikultur yang dipersyaratkan radio tidak akan berpengaruh banyak. Multikultur merupakan realita kehidupan global.

Penghargaan terhadap multikultur tidak harus dengan mengorbankan identitas lokal. Jati diri dan peran sebagai representasi publik dan komunitas tidak berarti harus dibunuh oleh radio. Tetapi manakala radio, penyiar dan jurnalis mempertontonkan kulturnya dalam paradigma dan keluasan wawasan yang multikultur, dia akan hadir dalam kearifan yang tinggi dan harmonis. Apalagi radio, penyiar dan jurnalis saat ini menggunakan frekuensi dan gelombang siaran atas nama ranah publik. Monokultur dalam konteks kebudayaan dan tradisi lokal tetap menyimpan realita multikultur. Minimal heteroginitas pikiran dan



idealismenya. Karena itu kemampuan memahami multikultur merupakan modal setiap tarikan nafas sebelum kita bisa meneriakkan kata: Demokrasi.

 

Tetapi melihat sejarah perkembangan radio non-RRI, memang benar tidak semua radio siap menjejakkan kakinya di ranah jurnalisme. Kewajiban relay RRI dan berbagai larangan memproduksi berita di rezim Orde Baru, membuat radio mandul dan butuh waktu mengubah pondasinya. Bahkan ketika reformasi melanda Indonesia, banyak radio yang tidak siap ketika mendadak ditagih khalayak pendengar untuk memproduksi materi-materi informasi. Ada yang siap dan langsung melaju, tetapi sebagian besar maksimalnya hanya sebatas kesadaran dan pasrah menyaksikan radio-radio yang sudah berformat jurnalisme tancap gas dan tinggal landas. Yang pasti fakta nyatanya pasca gerakan reformasi 1998, radio jurnalistik panen pengaruh, panen pendengar termasuk panen iklan untuk radio swasta.


§  PERTUMBUHAN IKLAN RADIO MEMPERKUAT PERAN RADIO SWASTA
Peran dan potensi radio yang besar terindikasi pula dari pertumbuhan periklanannya, khususnya indikator bagi radio swasta.  Tentang pertumbuhan periklanan media massa di Indonesia secara umum, Ketua umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), RTS Masli, memprediksi industri periklanan dalam negeri tahun 2003 akan terus tumbuh sekitar 20 persen. Baru-baru ini, lembaga riset Nielsen Media Research memaparkan berdasarkan perhitungannya, belanja iklan di media massa Indonesia pada kuartal ketiga 2002 tumbuh sebesar 34 persen dibanding kuartal yang sama tahun 2001 menjadi US$ 365 juta (Rp 3,285 triliun). Angka pertumbuhan ini merupakan angka tertinggi di kawasan Asia Pasifik, diikuti Cina sebesar 27 persen, Singapura 14 persen, dan Thailand 14 persen. 17)

Meski data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) tersebut menyebutkan angka belanja iklan selama tahun 2001 lalu untuk media radio masih paling kecil dibandingkan dengan media surat kabar, majalah, televisi dan media luar ruang, para pengelola radio swasta masih tetap optimis potensi radio komersial karena data tersebut belum menghitung potensi periklanan secara lokal. 18)  Tercatat belanja iklan radio di tahun 2001 sekitar Rp 215 milyar, surat kabar Rp 1,8 trilyun, majalah Rp 266 milyar, dan tabloid Rp 133 milyar. 19) Menurut Research and Development Departement Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia Pusat, Iklan di radio diprediksikan bisa naik sampai 7% dan bukan hanya di bawah 4% seperti yang diperkirakan P3I, karena selama ini penelitian hanya dari perusahaan periklanan dan belum mencakup local buyer yang potensial. 20)

Sekretaris Jenderal PPPI Aswan Soendjojo menambahkan angka pertumbuhan industri periklanan di tanah air sebenarnya bisa berlipat ganda dari yang sekarang, asalkan saja gejolak sosial politik, kepastian iklim berinvestasi, dan daya beli masyarakat tinggi. Karena akibat krisi multi dimensi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, masyarakat cenderung membeli barang-barang kebutuhan dasar. Menurut Aswan Soendjojo Indonesia adalah negara berkembang dengan pasar yang sangat besar. 

Pertumbuhan periklanan khususnya untuk radio komersial akan memperkuat peran radio komersial memberdayakan masyarakat. Karena bagaimana mungkin radio komersial mampu memainkan peran sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat dan demokrasi, bila dirinya berada dalam posisi yang sulit dan lemah. Pertumbuhan iklan radio yang sehat, akan menciptakan bola salju perkembangan radio swasta termasuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di bidang penyiaran.

§  MEMPERKUAT SEMANGAT DAN KETRAMPILAN 
Potensi peran radio sebagai motivator dan pendorong proses demokrasi di Indonesia sudah dapat dibuktikan kekuatannya. Tetapi potensi ini menjadi tidak berarti banyak, manakala penyelenggara siaran tidak merencanakan peningkatan kompetensi seluruh tenaga pelaksana siaran. Ketertinggalan radio-radio di Indonesia secara umum adalah wawasan dan ketrampilan jurnalisme radio sebagai bagian terpenting untuk menggerakkan demokratisasi. Citra radio di Indonesia yang lebih mengarah sebagai radio hiburan dan musik, sering menghambat kekuatan potensi radio sebagai sumber informasi.

Keterbatasan ini sebagai akibat terlalu sedikit lembaga pendidikan dan pelatihan keradioan di Indonesia. Fakultas Komunikasi yang terdapat dibeberapa perguruan tinggi tidak secara spesifik melahirkan lulusan  yang profesional di bidang keradioan. Kebanyakan mereka lulus sebagai komunikator yang tidak terlalu paham tentang aplikasi perkembangan ilmu keradioan, termasuk perkembangan teknologi yang berkembang pesat.

Beruntung dalam masa transisi antara keruntuhan rezim Orde Baru menuju ke Reformasi, beberapa lembaga asing melakukan workshop tentang radio. Fokus workshop kebanyakan tentang jurnalisme radio. Internews Indonesia misalnya banyak melakukan pelatihan di Indonesia maupun di Amerika, juga penerbitan banyak buku-buku panduan tentang produksi radio, jurnalisme radio, teknik penyiar dan pemasaran.


Mereka juga beberapa kali mendatangkan instruktor asing ke Indonesia. Beberapa di antaranya merupakan buku terjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Lembaga lain Friedrich Naumann Stiftung-FNS Jerman yang beberapa kali menyelenggarakan lomba produksi Features Radio tentang demokrasi, parlemen dan otonomi daerah. FNS juga menyelenggarakan workshop tentang jurnalisme radio. Mereka juga menerbitkan buku berjudul “Politik dan Radio”. Unesco Indonesia juga menjadi lembaga yang sangat produktif memberdayakan potensi radio siaran sebagai penggerak demokrasi. Kegiatannya juga meliputi workshop dan penerbitan banyak buku. Selain itu Unesco juga berkonsentrasi  pada workshop tentang Reasearch and Survey, dan memberi bantuan peralatan produksi pemberitaan kepada radio-radio di Indonesia yang dianggap potensial mengembangkan jurnalisme radio. Unesco dan Internews banyak melibatkan ahli-ahli radio dari stasiun radio BBC Inggris. Tidak terkait langsung dengan proses demokratisasi, The Ford Foundation di Indonesia banyak memberi perhatian pada workshop radio dan TV dengan fokus pengembangan seni tradisi Indonesia. Melalui isyu-isyu kebudayaan dan kesenian, The Ford Foundation menyelenggarakan pusat produksi siaran musik etnik dan  kepustakaan musik etnik yang komprehensif. Masih ada beberapa lembaga lainnya yang juga melakukan pemberdayaan komunitas-komunitas untuk berinteraksi dengan media, melalui workshop “Media Relation” yang kebanyakan mendapat dukungan dari United States Agency for International Development – USAID. .

Radio-radio Indonesia sebenarnya saat ini memperoleh tantangan untuk memperkuat proses demokratisasi di Indonesia menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2004. Radio seharusnya dapat mengambil peran yang lebih besar lagi memberikan pendidikan bagi para pemilih seperti program “Voter education”. Radio juga dapat menyiapkan ketrampilan partai politik dan juru kampanyenya melalui teknik komunikasi dan menyampaikan informasi, melalui cara-cara berbicara di radio. Bahkan radio dapat memberikan peluang lebih besar bagi partai-partai politik berkomunikasi dengan publik secara luas. Inilah kesempatan radio menjadikan Pemilu 2004 dan proses kampanyenya sebagai sarana belajar merancang program-program yang melatih kemampuan masyarakat berperilaku lebih demokratis lagi. Apabila momentum ini tidak dimanfaatkan, maka jangan harap radio akan memperoleh legitimasi masyarakat sebagai lembaga komunikasi yang ampuh untuk mendidik masyarakat berdemokrasi.
 

 
 
REFERENSI
____________________________________________________________________________

1)      Pidato Menteri Komunikasi dan Informasi pada saat meresmikan Sidang Paripurna Pusat PRSSNI -
      Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia tahun 2003 di Balikpapan Kalimantan Timur

2)     Berita detikcom: 6 Asosiasi Penyiaran Ajukan Judicial Review UU 32/2002, Rabu 23 Februari 2003,
Reporter Suwarjono

3)     www.kompas.com (16/12/02) SEBAGAIMANA diberitakan di berbagai media massa, walaupun
mendapatkan tentangan yang keras dari berbagai pihak, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang  Penyiaran pada akhirnya tetap disetujui untuk disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan DPR yang diselenggarakan pada Kamis (28/11) yang lalu. Berkaitan dengan hal itu, beberapa pihak mengusulkan agar UU yang telah disetujui tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan peninjauan atau review. Di samping diajukan oleh kalangan aktivis penyiaran, usulan tersebut bahkan juga disarankan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) di DPR Roy BB Janis

4)   Bunyi Pasal 8 ayat (1): KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta    
     mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

5)   Brosur Deklarasi Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta, Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio
      Komunitas Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002

6)    Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002 

7)    Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002 

8)    Laporan Kegiatan Jambore Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta, tanggal 27-28 Juli 2002 

9)    Naskah Laporan Kegiatan Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani tahun 2002 

10)  Informasi tatap muka dengan Surowo di Yogyakarta tanggal 28 Februari 2003

11)  Informasi tatap muka dengan Yuzermin pimpinan Radio Harau Megantara di Payakumbuh, Sumatra
Barat, tanggal 10-13 September 2002, ketika memberikan pelatihan produksi jurnalisme radio untuk          program musik etnik  dengan sponsor The Ford Foundation

12)  Catatan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dalam Cover CD “Seri Musik Indonesia”, Penulis
      Endo Suanda

13)  Pernyataan Drs. Kresnayana Yahya MSc: hasil penelitian lembaga Enciety Consult Surabaya

14)  Informasi Departemen Teknik Radio Suara Surabaya tahun 2002, berdasarkan informasi yang
        diperoleh dari PT Telkom Surabaya



15)  Laporan Kerja Manajer Siaran Radio Suara Surabaya bulan Februari 2003,

16)  Catatan dalam cover CD Seri Musik Indonesia, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

17)  Data: Harian Bisnis Indonesia
18)  Pernyataan PRSSNI Pusat

19)  Data: Tempo Interaktif

20)  Berita Harian Bisnis Indonesia “Iklan radio diprediksi naik 7%”